Wednesday, January 4, 2012

SASAKALA KAMPUNG MARONGGE


SASAKALA KAMPUNG MARONGGE 

Hiduplah empat orang putri yang cantik jelita
serta memiliki kesaktian tinggi di sebuah kampung
bernama Babakan. Putri yang sulung bernama Embah
Gabug, yang kedua bernama Embah Setayu, yang
ketiga bernama Embah Naibah, dan yang bungsu
bernama Embah Naidah.

Berkat kecantikannya itulah, banyak raja dan
ksatria tertarik untuk melamar dan mempersuntingnya.
Salah satunya ialah Raja Subangkala dari kerajaan
Subang. Ia berniat melamar Embah Gabug. Maka
segera, Raja Subangkala memerintahkan patihnya
untuk melamar ke kampung Babakan.
“Apabila menolak, culik dengan cara paksa!”,
begitulah titahnya.

Keesokan harinya, berangkatlah rombongan dari
kerajaan Subang menuju ke kampung Babakan.
Rombongan tersebut dipimpin langsung oleh Ki Patih
kerajaan Subangkala. Sementara rombongan sedang di

perjalanan, di kampung Babakan Embah Gabug
sedang bersemedi. Di dalam semedinya, ia diberitahu
oleh Hyang Widi, bahwa akan ada rombongan yang
sedang berada dalam perjalanan dengan maksud dan
tujuan jahat.
Setelah mengetahui hal itu, Embah Gabug pun
segera memakai kesaktiannya untuk memperdaya
rombongan dari kerajaan Subang tersebut. Benar saja,
seluruh rombongan mendadak kelelahan dan tertidur
pulas di batas menuju Kampung Babakan.
Sesaat kemudian, setelah semua rombongan
tertidur, lalu dihampiri oleh Embah Gabug.
Dibangunkanlah seluruh rombongan tersebut.
“Bangunlah kalian semua! Dari mana dan apa
keperluan kalian datang ke Kampung Babakan?”
Ki Patih pun segera menjawab dengan nada
sinis.

 “Aku Ki Patih dari Kerajaan Subang. Diutus oleh
Gusti Raja Subangkala untuk melamar seorang puteri
yang tinggal di Kampung Babakan. Ia adalah puteri

Embah Gabug. Menurut titahnya, apabila lamarannya
ditolak, putri tersebut harus dipaksa dan diculik ke
Subang.”
Mendengar jawaban dari Ki Patih, Embah Gabug
pun menjawab dengan tenang dan tegas.
“Akulah puteri Embah Gabug yang dimaksud itu.
Kalian tadi tertidur terkena ilmuku. Kalian semua telah
memiliki niat jahat. Sekarang pulanglah dan sampaikan
pada raja kalian, bahwa aku mau menerima
lamarannya dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, puteri. Apakah puteri
menginginkan banyak intan permata?”
“Aku tidak menginginkan haliyah dunya
(kekayaan). Aku hanya menginginkan raja kalian dapat
mengembalikan kukuk*) yang akan dilempar ke sungai
Cilutung. Apabila raja kalian dapat memenuhi syarat
tersebut, aku akan menerima lamarannya.”

 Beberapa hari kemudian, datanglah Raja
Subangkala ke kampung Babakan. Ia pun langsung
diterima oleh putri Embah Gabug di muara sungai

Cilutung dan Cideres, yang kemudian tempat tersebut
dikenal dengan nama Panyaweuyan. Setelah
semuanya siap, maka dilemparkanlah sebuah kukuk
oleh Embah Gabug ke tengah-tengah derasnya air
sungai Cilutung.
“Kanjeng Raja, kukuk ini akan kulemparkan agar
terbawa arus ke hilir. Kembalikanlah kukuk tersebut ke
hadapanku,” kata Embah Gabug.
Segera saja Raja Subangkala mengeluarkan aji
kesaktiannya untuk mengembalikan kukuk yang telah
terbawa arus sungai. Namun air sungai semakin deras,
Raja Subangkala pun tidak sanggup menahan lajunya
kukuk, apalagi mengembalikan ke hadapan Embah
Gabug. Kukuk pun terbawa arus air menuju ke hilir
sungai.

 Melihat kenyataan demikian, Raja Subangkala
pun merasa malu. Kesaktiannya telah berhasil
dikalahkan oleh seorang perempuan. Oleh karena itu,
lalu ia menantang Embah Gabug untuk mengembalikan

kukuk yang telah terbawa arus sungai tersebut ke
hadapannya.
“Hai putri, kalau engkau sakti, coba kembalikan
kukuk yang terbawa arus itu ke hadapanku!”
Embah Gabug pun menuruti perintah Raja
Subangkala. Dengan karembong sakti cinde wulung, ia
pun mengembalikan kukuk. Kukuk melesat dari hilir,
membelah arus sungai. Bahkan akhirnya terpental pada
sebongkah cadas (sejenis tanah liat) yang teksturnya
datar menyerupai mejatulis di sebelah Raja Subangkala
berdiri. Tempat inilah yang sekarang disebut Cadas
Meja, berada di kampung Prunggawul, Desa Bonang,
Kacamatan Kadipaten Majalengka. Semenjak itu pula,
mulai dikenal istilah pelet (ilmu asihan) si kukuk mudik
dari kampung Marongge. Malahan terkenal dengan
sebutan Pelet Marongge.

Beberapa hari setelah kejadian itu, mulailah
tersiar kabar ke mana-mana bahwa Raja Subangkala
dikalahkan oleh Embah Gabug. Adalah Raja Bugang
Geureung dari kerajaan Pasiripis yang penasaran atas

kabar tersebut dan berniat menjajal kesaktian Embah
Gabug. Raja Bugang Geureung pun kemudian
mengajukan tawaran pada Embah Gabug. Oleh Embah
Gabug, tawaran Raja Bugang Geureung tersebut
diterima dengan syarat akan diwakilkan pada adiknya
Embah Setayu.
Pelaksanaan melempar kukuk pun dimulai. Kini
kukuk dilempar oleh Embah Setayu. Namun seperti
halnya Raja Subangkala, Raja Bugang Geureung pun
tidak mampu mengembalikan kukuk ke hadapan
Embah Setayu.

Itulah syarat yang diajukan oleh Embah Gabug
untuk siapa saja yang ingin mempersuntingnya. Namun
pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang sanggup
memenuhi persyaratan tersebut. Dengan kenyataan
demikian, akhirnya Embah Gabug memutuskan untuk
pergi dari kampung Babakan. Ia lalu mencari tempat
yang baik untuk bersemedi. Kepergiannya tersebut
tanpa sepengetahuan penduduk kampung Babakan.
Bahkan saudara-saudaranya pun tidak diberitahu.

Tentu saja membuat sedih Embah Setayu, Naibah, dan
Naidah. Hingga suatu ketika, mereka bertiga berniat
untuk mencari kakaknya yang pergi tanpa pamit.
Berangkatlah mereka bertiga berkelana. Hingga
pada suatu malam, mereka bertiga sampai ke sebuah
bukit yang bernama Gunung Hade. Di puncak bukit
itulah, mereka bertiga menemukan seorang perempuan
terkapar karena sakit. Perempuan tersebut ternyata
Embah Gabug, kakaknya sendiri. Maka dipeluklah
tubuh Embah Gabug oleh adik-adiknya.
Sesaat kemudian, terdengar suara gaib:
“Hai, Setayu, Naibah, dan Naidah! Kakakmu
akan sembuh apabila memakan buah laja yang tumbuh
di bukit ini!”
Maka dicarilah buah laja oleh Embah Setayu.
Setelah memakan buah laja, berkat kekuasaan Hyang
Widi, Embah Gabug pun sembuh kembali.
“Kenapa kita ada di sini? Siapa yang telah
berhasil menyembuhkanku?” kata Embah Gabug.

Diceritakanlah seluruh kejadian yang telah
menimpa oleh Embah Setayu. Setelah itu tiba-tiba
terdengar kembali suara gaib:
“Kalian jangan kaget, aku adalah Haji Putih
Jagariksa yang menguasai bukit ini. Suatu saat nanti,
kalian juga akan menetap di bukit ini. Sekarang,
pergilah!”
Setelah mendengar suara gaib, Embah Gabug
dan ketiga adiknya pun kembali ke kampung Babakan.
Sudah barang tentu seluruh penduduk menyambutnya
dengan suka cita.
Beberapa bulan kemudian, pada malam Jumat
Kliwon, keempat putri bersaudara itu pergi berjiarah ke
gunung Hade. Sesampainya di sana, mereka membuat
lubang tepat di atas tempat terkaparnya Embah Gabug
dulu. Kemudian Embah Gabug masuk ke lubang
tersebut. Oleh adik-adiknya lubang tersebut ditutupi
oleh rengge (sejenis ranting bambu haur) yang tumbuh
di sekitar bukit. Setelah itu, Embah Gabug pun ditinggal
pergi oleh adik-adiknya.

 Sekian lama Embah Gabug terkubur dalam
lubang di puncak gunung Hade. Adik-adiknya pun
merasa sedih, karena terlalu lama ditinggal sang kakak.
Hingga pada suatu malam, berangkatlah mereka
bertiga ke gunung Hade dengan maksud untuk melihat
sang kakak. Sesampainya di puncak, mereka kaget
karena dari lubang yang ditutupi rengge waktu itu,
keluar cahaya yang merong (bersinar) kekuning-
kuningan seperti kilatan emas. Lalu diperiksalan lubang
yang mengeluarkan cahaya merong tersebut. Ternyata
lubang tersebut kosong. Embah Gabug yang pernah
masuk ke lubang itu pun didapati oleh ketiga adiknya
telah menghilang.
Semenjak itulah, tempat tersebut dikenal oleh
masyarakat setempat dengan nama Merongge. Seiring
perjalanan waktu, kemudian berubah menjadi
Marongge, yang berasal dari kata merong dan kata
rengge.

Kini kampung Marongge menjadi tempat jiarah.
Kebanyakan pengunjung berjiarah dengan maksud

agar cepat mendapat jodoh atau bertapa untuk memiliki
ilmu pelet si kukuk mudik. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, konon sampai akhir hayatnya
keempat gadis tersebut tidak pernah menikah. ***
(Sumedang)
*) kukuk, nama tumbuhan sejenis labu. Bunganya berwarna
putih dan buahnya berbentuk kendi. Buahnya yang sudah
tua, oleh orang tua biasa dipakai untuk wadah cai (tempat
mengambil air) dengan cara dilubangi dekat lehernya
(karena bentuknya yang berleher sepert kendi).

No comments:

Post a Comment