Mantra dan Jati Diri Bangsa
Oleh Sri Sultan HB X,
PUSAKA Indonesia terhampar luas dari puncak gunung,
pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta
isinya, termasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di
Nusantara ini merupakan ”Pusaka Bangsa” yang dapat memperkuat semangat
”Bhinneka Tunggal Ika”. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang
sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan
nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama itu
merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang pikiran,
perasaan, dan pengetahuan
dari suatu etnik atau kelompok sosial budaya
tertentu, sekaligus sebagai unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan
sosial masyarakat yang melahirkan dan mendukung naskah-naskah kuna tersebut.
Karena itu, peninggalan suatu kebudayaan berupa naskah, termasuk dokumen yang
paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama. Artefak sebagai peninggalan
sejarah berbentuk puing bangunan seperti candi, istana raja, pemandian suci,
dan lain sebagainya, bisa memberi kesan mengenai keagungan budaya lama. Namun,
peninggalan berbentuk sisa bangunan itu belum sanggup memberi informasi
langsung yang mencukupi mengenai kehidupan sosial budaya suatu masyarakat yang
membangunnya. Karena hal itu hanya dapat kita ketahui lebih mendalam melalui
peninggalan dalam bentuk naskah. Dalam seminar nasional yang membahas masalah
Naskah Kuna Nusantara, belum lama ini, saya menyatakan, bahwa memang tidak
semua komunitas masyarakat Nusantara memiliki dan menyimpan khazanah
pernaskahan tersebut. Tidak semua kelompok etnis di Nusantara memiliki
peninggalan tradisi tulis berupa naskah. Di Indonesia ada sekitar 500-an suku,
tetapi yang memiliki naskah tradisional, antara lain suku Jawa, Sunda, Bali,
Sasak, Batak, Madura, Rejang Lebong, Aceh, Melayu dan Bugis. Ada ribuan naskah tradisional yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia yang memerlukan penanganan serius. Lewat Seminar
ini diharapkan menjadi bukti usaha memelihara, mengembangkan dan meneruskan
warisan budaya bangsa. Naskah tradisional sebagai peninggalan sejarah dan
intelektual bersama nilai-nilai kultural dan religius masyarakat, untuk dapat
bangkit menjadi bangsa yang cendekia, berbudaya dan arif di hadapan tantangan
globalisasi. BANYAK naskah kuna di dalam Keraton yang disebut kawruh, piwulang
atau pitutur-luhur dari para leluhur yang dikemas dalam pelbagai naskah yang
tersimpan sebagai pusaka. Naskah itu bisa berupa Babad, Serat, Sastra pewayangan,
Sastra Suluk dan sejenisnya. Babad umumnya berisi tentang sejarah kerajaan atau
tokohnya, Serat berisi tentang ajaran-ajaran atau piwulang atau kisah dalam
dunia pewayangan, khususnya kisah Mahabarata dan Ramayana, Suluk berisi ajaran
mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, ajaran moral, dan
lain-lain. Babad bukan sejarah dalam arti historis kronologis, tetapi lebih
sebagai alat tutur-luhur yang berisi petuah dan nasihat. Sastra pengaruh India
mendominasi Jawa dalam waktu yang cukup lama, karena baru pada jaman Majapahit
muncul pembaharuan sastra Jawa dengan lahirnya Kitab Negarakertagama. Sastra
ini mereformasi mitologi India yang sudah menjadi tradisi di lingkungan
masyarakat Jawa, yang tokoh-tokohnya kemudian diganti dengan tokoh-tokoh
Majapahit secara riil. Setelah agama Islam masuk, muncullah kitab Suluk Seloka,
berisi ajaran serta tuntunan bersatunya makhluk dengan Tuhannya. Berbeda dengan
pandangan Jawa-Hindu, seseorang hanya bisa berhubungan dengan Tuhan, kalau dia
itu pendeta, raja dan pujangga. Mereka inilah yang dapat bersatu dengan dewa.
Sedangkan kitab-kitab Suluk Seloka mengajarkan seseorang dapat berhubungan
dengan Tuhannya tanpa perantara, dan ini berarti suatu penghargaan individu
yang sangat tinggi. Pada jaman Islam ini, muncul naskah-naskah berisi
mantra-mantra yang berciri mitologi Islam, seperti Kitab Ambiya Jawi, Serat
Anggit Kidung Berdonga, Serat Puji, yang masih tersimpan di Keraton Yogyakarta.
Lahir pula Sastra Piwulang, seperti Serat Nitisruti, Serat Nitipraja, dan Serat
Sewaka, yang ketiganya berisi petunjuk cara mengabdi kepada raja dan cara
memerintah. Bentuk metrum macapat juga muncul dalam karya sastra sejarah
seperti Babad Giyanti, Babad Pakepung, Babad Prayut dan sebagainya. Pada jaman
itu muncul karya futuristik yang digubah oleh pujangga Ranggawarsita, yang
terkenal ramalannya dalam Serat Kalatidha. Dengan membuka lembaran Babad
Giyanti, barangkali kita dapat bercermin diri akan keberadaan kita sekarang.
Tatkala Pangeran Mangkubumi bergerilya di kawasan Kedu dan Kebanaran pernah
berujar secara bersahaja, yang dikutip dalam Babad Giyanti: ”Satuhune Sri
Narapati Mangunahnya Brangti-Wijayanti”. Ucapan itu menunjukkan keprihatinan
beliau, bahwa kultur Barat sebagai akses gencarnya politik kolonialisme Belanda
yang mencekik, akan membuat raja-raja Jawa terkena demam asmara dan
lemah-lunglai tanpa daya. Keadaan ini harus dihadapi dengan ”wijayanti”, untuk
bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Maka dianjurkan-nya: ”puwarane sung
awerdi, gagat-gagat wiyati”, untuk menjadi pemenang, seorang Raja haruslah
meneladani sikap tulus tanpa pamrih, agar bisa menyambut cerahnya hari esok
yang laksana biru nirmala. Ungkapan ini rasanya ada paralelisme sejarah dengan
keadaan sekarang, di saat menghadapi hantaman derasnya arus globalisasi
mengharuskan kita bersiap diri untuk meningkatkan kualitas dalam semua aspek
kehidupan. Selain harus ”eling lan waspada” menghadapi berbagai godaan dan
cobaan di zaman Kala-Tida ini, di mana banyak hal yang diliputi oleh keadaan yang
serba ”tida-tida” —penuh was-was, keraguan dan ketidakpastian. Mantra adalah
suatu idiom atau kata khusus yang mempunyai arti tersendiri. Bahkan,
menyimpan kekuatan dahsyat yang terkadang sulit diterima akal sehat. Dan
menurut ajaran agama Hindu, mantra adalah kata-kata yang diyakini sebagai wahyu
yang diterima oleh manusia pilihan, sebagai alat komunikasi khusus dengan Tuhan
atau dewa-dewa yang merupakan manifestasi dari kekuatan-Nya. Karena itu
tidaklah mengherankan kalau mantra begitu dikeramatkan, dan tidak boleh
sembarang orang mengucapkannya sebelum pernah mewinten (disucikan secara
ritual). Selain itu, tidak boleh pula diucapkan di tempat-tempat yang tidak
pantas. Demikianlah konsep mantra menurut Hindu. Setelah masuknya Islam,
pemantraan masih tetap dikenal dalam khasanah mistik kita. Mungkin, hanya
istilah-istilah saja yang berbeda. ”MUHAMMAD kang mengku Rasa”, demikian bunyi
mantra kaligrafis (rajah penolak bala) di bangsal Kencana, Keraton Yogyakarta.
Dari sini menjadi jelas, bahwa pengertian dan penerapan mantra tidak hanya
diucapkan atau dinyanyikan, tetapi dapat pula ”dimantrakan” pada berbagai
medium, seperti bangunan (disebut rajah, tertulis dalam aksara Jawa/Arab),
pusaka, azimat, gamelan, kereta, bedhaya (misalnya bedhaya Semang), sesaji dengan
segala uba-rampe-nya (Gunungan Sekaten, labuhan), serta benda-benda lain.
Mantra yang awalnya merupakan doa (donga) yang bersifat privat dan
vertikal-spiritual karena diyakini sebagai wahyu Tuhan (dalam pemahaman agama
Hindu) telah berkembang ke sifatnya yang horisontal-kultural. Dalam
pengembangan sifatnya yang kedua ini, mantra dapat menjadi media defensif atau
agresif sebagai kanuragan untuk pertahanan diri atau guna-guna, yang keduanya
bisa mengandung tujuan positif atau pun negatif. Mantra di lingkungan Keraton
banyak tersebar di berbagai kakawin, kitab, primbon, babad, serat, yang umumnya
diselipkan di dalam isi naskah yang beraksara Jawa dengan aksara Arab (pegon).
Selain itu, ada yang sudah melekat (built-in) pada pusaka Keraton karena
terbawa oleh sejarah pembuatan atau perolehan pusaka itu sendiri. Sebagai
contoh Kumbang Ali-ali yang berbentuk cincin, pusaka Keraton Kasultanan
Yogyakarta. Pusaka ini memang kurang diketahui masyarakat umum. Bentuknya
sederhana tetapi punya nilai historis tinggi. Sebab cincin itu pernah digunakan
Pangeran Mangkubumi ketika masih muda untuk menempa diri. Bersama pendherek-nya, beliau mesu-raga dan
olah-kebatinan di sepanjang Kali Pepe, Surakarta. Sesungguhnya latihannya
sederhana, cincin dilepas dan dilemparkan ke dalam sungai. Kemudian Pangeran
Mangkubumi menyelam mencari cincin tersebut sampai mendapatkannya kembali.
Mengapa Pangeran Mangkubumi gemar berlatih menyelam di Kali Pepe? Kalau
dicermati mengandung ajaran yang sangat dalam. Bukankah sungai merupakan sumber
hidup bagi semua makhluk di dunia?Air dalam pemahaman Jawa berkaitan dengan
rasa. Dengan demikian sebenarnya Pangeran Mangkubumi melakukan olah-rasa untuk
menemukan sumber hidup sejati, yang tiada lain adalah Sang Maha Pencipta
sendiri sebagai sumber kehidupan adikodrati. Nama sungainya adalah Kali Pepe.
Pepe merupakan perwujudan protes anak manusia menantang sinar matahari. Ini
merupakan perlambang niat dan tekad yang kuat untuk ‘maneges’ mencari kehendak
Allah yang sejati. Mencari cincin di dalam sungai merupakan sebuah perlambang
pencarian sekaligus membentuk raga, agar siap diri sebagai sosok pemimpin dalam
menghadapi segala cobaan. Penyelaman yang demikian lama ketika mencari harus
menahan nafas, menutup ‘babahan hawa sanga’ berkonsentrasi, bertujuan menemukan
cincin yang merupakan tanda ikatan antara Manusia dengan Tuhan Sang Maha
Pencipta-Nya. Ikatan batin ini perlu dijaga, sebab dalam pemahaman Jawa huruf
pertama aksara Jawa: ‘Ha’ mengandung makna: ”Hananira wahananing Hyang”. Bahwa
manusia itu ada, sebenarnya merupakan gambaran dari Allah sendiri. Oleh karena
itu manusia wajib menjaga citra Allah di dalam dirinya. Ketika menjalankan laku
ini Pangeran Mangkubumi mencoba menyelami substansi makna pitutur-luhur yang
termuat dalam tembang lama, seperti ini: Urip iku pindhu pesate warastra saka
gandewa kang pinenthang. Lamun mleset saka lesane mbilaeni. (Hidup ibarat anak
panah yang melesat dari busur yang direntangkan. Jika tidak mengenai sasaran,
bisa berbahaya). Konon, pernah terjadi perdebatan tentang berbagai Kitab Jawa
Kuna: Arjuna Wiwaha, Bima Suci, Ramayana, dan ayat-ayat Al-Qur’an yang direkam
dalam Serat Cebolek. Dalam forum itu, Pangeran Mangkubumi datang terlambat
karena baru berperang melawan ama-menthek (setan anak kecil yang dipercaya menyebabkan
kerusakan tanaman padi). Dengan berpegang pada ayat-ayat suci Al-Qur’an sebagai
mantra, beliau dapat mengalahkan raja menthek, yang kemudian mengabdikan diri
kepadanya. Apabila di kemudian hari Mangkubumi dalam kedudukannya sebagai
Sultan Hamengku Buwono I bertapa di tengah air di kompleks Taman Sari, baginya
air bukanlah sekadar tempat among-suka, melainkan tempat menunaikan laku demi
masyarakat petani. Mitos Tradisi pembuatan kolam di sekitar istana, juga sudah
terlihat di Keraton Plered yang dibangun Sultan Agung pada bagian akhir
pemerintahannya dengan membendung Sungai Opak dan Winanga. Sesungguhnya Taman
Sari adalah bangunan irigasi dalam konteks peradaban kota pra-industri dalam
membangun oriental despotisme yang membuat ketergantungan kaum tani kepada para
elite kerajaan. Dalam pidato pengukuhannya sebagai gurubesar di Universitas
Sanata Dharma, Alexander Sudewa menyebutkan, mengingat pada zaman Serat
Cebolek, Mangkubumi dimitoskan sebagai penakluk raja menthek, kiranya pada
waktu pembangunan Taman Sari 25 tahun kemudian, mitos ini masih tetap melekat.
Masjid kecil di Taman Sari yang hanya dapat dimasuki lewat lorong bawah air
Sumur Gumuling, diperkirakan berfungsi sebagai tempat samadi beliau untuk
menjinakkan raja menthek yang telah ditundukkan olehnya Menurut hemat saya,
deskripsi dan analisis Prof Dr Alexander Sudewa itu, perlu kita cermati bersama
saat akan melakukan renovasi kompleks Taman Sari dalam rangka kerjasama dengan
Pemerintah Portugal. Sebagimana telah diuraikan di muka, mantra-mantra yang
termuat dalam naskah-naskah kuna di Keraton tersebar-sebar di berbagai bagian
isi naskah, dan umumnya tertulis dalam aksara Arab. Penelitian yang tuntas,
menurut pendapat saya, perlu dilakukan oleh para ahli, bukan sekadar dengan
transliterasi dan translasi ke huruf Latin. Tetapi hendaknya dapat disusun
sedemikian, sehingga kita dapat menggali dan memahami maknanya. Siapa tahu
kelak, isinya bisa menjadi sumbangan dalam mengukuhkan jatidiri bangsa ke
depan.
Salam silih
asih-asah-asuh-silihwangi
CAG
No comments:
Post a Comment