SASAKALA
INDRAMAYU
Tersebutlah pemuda yang sangat tampan,
gagah, dan memiliki kesaktian tinggi. Ia bernama
Wiralodra, putra
Tumenggung Gagak Singalodra, dari
Banyurip,
Bagelen, Jawa Tengah. Karena ketampanan
dan kesaktiannya
itulah, Wiralodra menjadi pujaan
banyak perempuan.
Sebagai kstaria pilih tanding, Wiralodra
mempunyai keinginan untuk mendirikan sebuah
kerajaan. Ia
tidak ingin menjadi raja karena hasil
pemberian dari ayahnya atau orang lain. Maka sebagai
langkah awal, Wiralodra pun melaksanakan tapabrata
di suatu tempat
yang bernama Malaya di kawasan
lembah Gunung Sumbing.
Wiralodara
menghabiskan waktu 40 hari 40
malam, sebelum akhirnya mendapatkan wangsit dari
Sang Hyang Wasa. Dalam wangsitnya itu disebutkan
bahwa Wiralodra harus mencari sungai yang bernama
Cimanuk. Di
lembah sungai itu, tanahnya subur dan
akan banyak dikunjungi orang. Tanah itulah yang
menurut wangsit sangat baik untuk dijadikan pusat
kerajaan.
Ketika itu hari masih pagi, ketika Wiralodra
menghadap ayahnya
di pendopo.
“Ada apa anakku,
engkau menghadapku di
waktu masih pagi
seperti ini?”
Wiralodra
menundukkan kepala, sebelum
akhirnya menjawab
pertanyaan ayahnya.
“Maaf ayahanda,
aku semalam mendapat
wangsit agar
segera mencari sungai Cimanuk.”
“Untuk apa
mencari sungai Cimanuk, bukankah
di daerah Bagelen
juga terdapat banyak sungai,” kata
ayahnya terheran-heran.
“Di lembah sungai itulah, menurut wangsit,
sangat baik untuk dijadikan pusat kerajaan,” kata
Wiralodra tegas.
“Anakku, aku sudah
tahu bagaimana
karaktermu. Kalau memang pendirian dan niatmu
begitu, aku akan mengijinkanmu. Hanya pintaku,
pandai-pandailah
engkau menjaga diri. Sebagai teman
berbincang selama
perjalanan, aku utus Ki Tinggil
untuk menemanimu”
Setelah mendapat ijin dari ayahnya, maka
pergilah
Wiralodra dengan ditemani Ki Tinggil untuk
berkelana mencari
sungai Cimanuk. Perjalanannya
menuju ke sebelah
Barat. Dalam perjalanannya itulah
pada suatu hari
di tengah hutan belantara, Wiralodra
bertemu dengan
seorang lelaki tua renta. Lelaki tua
tersebut mengaku bernama Ki Sadum.
“Hey anak muda, ke mana tujuanmu?”
Maka berceritalah Wiralodra tentang maksud
dan tujuannya. Tidak lupa ia pun menceritakan isi
wangsit yang
diterimanya di pertapaan.
Setelah mendengar
cerita Wiralodra, tiba-tiba
lelaki tua tersebut berubah menjadi Kiai Malik Warna.
Mahaguru yang
sudah koncara ke mana-mana memiliki
ilmu dan kesaktian yang tinggi. Tentu saja Wiralodra
dan Ki Tinggil kaget bercampur bahagia, karena dapat
bertemu dengan orang yang luar biasa.
Setelah sesaat ketiganya membisu, akhirnya Kiai
Malik bicara:
“Apabila engkau berdua sudah berada di wilayah
yang bernama Cupunagara, segera cari kijang bermata
berlian. Setelah ditemukan, ikutilah perjalanannya.
Apabila kijang
itu berhenti dan menghilang di pinggir
sungai, maka
sungai itulah yang dinamakan Cimanuk.
Mengerti engkau
Wiralodra?”
“Paham, Kiai?”
Setelah meminta
ijin, bergegaslah Wiralodra dan
Ki Tinggil menuju
ke sebelah Barat untuk mencari
daerah yang
bernama Cupunagara. Wiralodra kembali
menjelajah hutan
belantara yang masih angker. Hingga
di sebuah hutan
jati, ia mendapati ular sangat besar
menghalangi jalan setapak yang akan dilewatinya.
Ketika ular tersebut akan diangkat, tiba-tiba kepalanya
menyambar akan
menerkam Wiralodra. Namun secara
gesit, Wiralodra
memukulkan cakra senjata
andalannya.
Kepala ular pun hancur terkena pukulan
cakra.
Baru saja
Wiralodra menarik nafas, tiba-tiba ular
yang kepalanya
sudah hancur tersebut berubah wujud
menjadi sungai
yang airnya jernih. Wiralodra dan Ki
Tinggil merasa
heran dan terpana. Untung saja
Wiralodra segera
sadar, bahwa itu hanyalah sungai
jadi-jadian. Maka
dengan segera, ia memukulkan
cakranya kembali
pada air sungai yang jernih tersebut.
Setelah itu, hilanglah sungai, kini berubah menjadi
perempuan yang sangat cantik. Perempuan tersebut
menyebut dirinya dengan nama Dewi Larawana dan ia
pun mengaku
penguasa hutan larangan tersebut.
Dalam
pertemuannya itu, Dewi Larawana
mengaku telah
jatuh cinta pada Wiralodra. Bahkan ia
menginginkan
untuk dikawini oleh Wiralodra. Kontan
saja Wiralodra
menolak, karena ia tidak berniat mencari
istri namun
mencari daerah bernama Cupunagara.
Akibat ditolak Wiralodra, Dewi Larawana merasa
terhina. Ia pun
langsung menantang Wiralodra untuk
berkelahi adu
kesaktian sampai salah satunya ada
yang meninggal.
Pada mulanya permintaan tersebut
ditolak oleh Wiralodra,
namun karena Dewi Larawana
terlebih dulu
menyerang, akhirnya Wiralodra pun
melayani
tantangan tersebut.
Perkelahian pun
terjadi. Baik Wiralodra maupun
Dewi Larawana
sama-sama memiliki ilmu kesaktian
yang tinggi.
Semakin lama perkelahian pun semakin
sengit. Keduanya
sama-sama memakai ilmu yang
tinggi. Namun
setelah Wiralodra mengeluarkan cakra
sebagai senjata
andalannya, akhirnya Dewi Larawana
pun semakin
terdesak. Ia pun akhirnya meninggal
terkena cakra
Wiralodra.
Tidak berhenti di
situ, kejadian aneh terjadi
kembali. Sesaat
setelah Dewi Larawana meninggal,
tiba-tiba dari
mayatnya keluar asap. Mula-mula berupa
asap tipis, kemudian berubah menjadi tebal sampai
menyelimuti hutan. Setelah itu, mayat Dewi Larawana
berubah wujud menjadi kijang bermata berlian. Adapun
ciri-ciri kijang tersebut sama dengan yang diceritakan
oleh Kiai Malik Warna.
Tentu saja Wiralodra tidak langsung percaya
begitu saja. Ia masih yakin bahwa kijang tersebut
hanyalah jadi-jadian. Namun ketika kijang bermata
berlian tersebut
berlari dari hadapannya, Wiralodra
segera penasaran
untuk mengejarnya. Maka dikejarlah
kijang bermata
berlian itu oleh Wiralodra dan Ki Tinggil.
Wiralodra
mengeluarkan aji kesaktiannya untuk
mengejar kijang
tersebut. Namun kijang tersebut tetap
saja tidak terkejar. Sampai akhirnya kijang tersebut
menghilang di tepi sebuah sungai yang airnya jernih.
Wiralodra pun segera tersadar, bahwa kijang tersebut
telah menunjukkan letak sungai Cimanuk yang selama
ini ia cari.
Tidak menunggu
lama, keesokan harinya
Wiralodra dan Ki
Tinggil segera ngababakan (membuka
lahan baru untuk
pedukuhan) di sekitar tepi sungai
Cimanuk. Sampai
pada malam harinya, Wiralodra dan
Ki Tinggil
didatangi dua mahluk aneh yang mengaku
Raja Budipaksa
dan Patih Bujaris. Keduanya mengaku
sebagai penguasa
hutan di sekitar tepi sungai Cimanuk
tersebut.
Dua siluman
tersebut marah karena tidak terima
wilayah
kekuasannya diganggu oleh Wiralodra. Mereka
berdua pun
menyerang Wiralodra dan Ki Tinggil.
Keduanya saling berhadap-hadapan. Raja Budipaksa
menghadapi Wiralodra, sedangkan Patih Bujaris
menantang Ki Tinggil.
Perkelahian pun terjadi, sebelum akhirnya kedua
siluman tersebut dapat dikalahkan oleh Wiralodra dan
Ki Tinggil.
Keduanya menerima takluk pada Wiralodra.
Bahkan
seterusnya, seluruh siluman penghuni hutan di
tepi sungai
Cimanuk turut serta membantu Wiralodra
membuka lahan baru untuk pemukiman.
Lama kelamaan lahan untuk pemukiman
semakin besar. Orang
pun mulai berdatangan dan
betah menetap di sana.
Wiralodra diangkat sebagai
pemimpinnya dan
Ki Tinggil sebagai wakilnya.
Selanjutnya
pemukiman itu pun berubah menjadi
kerajaan. Tentu
saja Wiralodra diangkat menjadi raja
dan Ki Tinggil
menjadi patihnya.
Wiralodra
menugaskan Ki Tinggil untuk segera
memperluas wilayah kekuasaan. Dengan dibantu oleh
prajurit tangguh bernama Surantaka, Banyuntaka, dan
Puspahita, akhirnya Ki Tinggil pun berhasil memperluas
wilayah kekuasaan Wiralodra.
Perkampungan di lembah sungai Cimanuk
semakin ramai. Pembangunan dalam segala bidang
terus digalakan oleh Wiralodra, terutama pada bidang
pertanian dan
perikanan. Apalagi setelah mendapat
bantuan dari
seorang pemukim baru bernama Endang
Darma,
perkampungan Cimanuk semakin pesat.
Endang Darma
adalah seorang perempuan
cantik yang
memiliki ilmu tinggi. Ia banyak membantu
Wiralodra dalam
mengembangkan ilmu hidup kepada
penduduk Cimanuk,
mulai dari teknik bertani,
berdagang, sampai teknik berperang melawan musuh.
Sehari-hari, Endang Darma hidup membaur dengan
penduduk Ciamanuk.
Pada suatu ketika, Wiralodra merasa tersanjung
atas bantuan Endang Darma tersebut. Ia pun berniat
ingin menguji kesaktian Endang Darma. Maka
ditantanglah
Endang Darma oleh Wiralodra. Tetapi
karena Wiralodra
memiliki kesaktian yang lebih tinggi,
akhirnya Endang Darma mengaku kalah. Sebagai
tandanya, ia akan terus membantu Wiralodra untuk
mengambangkan pemukiman Cimanuk menjadi sebuah
kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain.
Kemudian Endang Darma mengajukan syarat
kepada Wiralodra agar mau menamai daerah tersebut
berdasarkan
namanya. Wiralodra pun merestuinya,
asal Endang Darma dapat terus membantunya dalam
mengembangkan kerajaan.
Kabar telah
berdiri kerajaan di lembah sungai
Cimanuk pun akhirnya sampai juga pada kerajaan
Cirebon. Sultan
Cirebon merasa dihina, karena ada
sebagian wilayahnya yang dicaplok oleh Wiralodra.
Itulah sebabnya Cirebon
segera mengirimkan pasukan
yang dipimpin oleh Aria Kemuning ke daerah Cimanuk.
Maksudnya untuk
memberi pelajaran pada Wiralodra.
Tiba di Cimanuk,
tentu saja WIralodra telah
menyiapkan penduduknya yang dipimpin oleh Endang
Darma untuk menghadapi pasukan Cirebon
tersebut.
Pertempuran pun
terjadi dan keunggulan berpihak pada
pasukan Endang Darma. Pasukan Cirebon kocar-kacir
kewalahan menghadapi amukan penduduk Cimanuk.
Setalah kejadian pertempuran itu, kemudian
Wiralodra memberi
nama pada kerajaannya Darma
Ayu. Alasannya
sebagai bentuk penghargaan pada
Endang Darma yang telah berhasil mengalahkan
pasukan Cirebon
dan mempertahankan kekuasannya di
Cimanuk. Nama
Darma Ayu diambil dari ungkapan
Endang Darma anu ayu, yang berarti Endang Darma
yang cantik (ayu). Tanda bahwa Wiralodra memuji
kecantikan, kesaktian, dan menepati janjinya pada
Endang Darma.
Semakin hari kampung Darma Ayu pun semakin
berkembang pesat. Banyak pendatang dari kerajaan
lain dan langsung menetap di perkampungan tersebut.
Bahkan banyak pula pendatang dari kerajaan Mataram.
Seiring waktu, nama kampung Darma Ayu pun berubah
menjadi Indramayu, mengikuti logat bahasa penduduk
setempat yang bercampur antara penduduk asli dengan
pendatang dari kerajaan Mataram, yang mereka sebut
sebagai bahasa dermayuan atau dermayon. ***
salam Budaya Nusantara
Ra-Hayu _/\_
No comments:
Post a Comment