BANJAR KARANG PAMIDANGAN
Kategori: Tatar Sunda
Secara administratif kewilayahan dan pemerintahan Kota
Banjar belum terbilang lama, baru seumur jagung, tetapi dalam peta sejarah
kebudayaan Tatar Sunda, kota Banjar
telah terbilang lama dikenal dan dikenang orang.
Penulis sendiri dilahirkan ke Buana Panca Tengah, ini di
sebuah kota kecil - Banjarsari -
yang tidak begitu jauh dari kota
Banjar ini.
Pada awal tahuh 50-an , suatu waktu di satu rumah di daerah
Cimenyan dekat “pudunan viaduct”, saya mendengar seorang sesepuh berbincang
dengan ayahanda, tentang “Sarsilah Banjar dan Sungai Citanduy” serta beberapa
tempat yang dialirinya. Alur cerita dan beberapa pemaknaannya masih ada yang
saya ingat. Pada kesempatan sekarang izinkanlah saya memaparkan sedikit tentang
yang dibincangkan sesepuh tadi. Dengan harapan pada akhirnya dari esensi yang
terkandung dalam cerita ini berkemungkinan untuk dijadikan acuan dan dikaitkan
dengan kegiatan kita pada saat ini yaitu “menata ruang dan lingkungan hidup
yang humanis harmonis dan religius”.
BANJAR
Menurut kamus Bahasa Kawi-Indonesia, banjar = lingkungan,
baris > ber-banjar = berbaris rapih arah ke belakang.
Menurut kamus Istilah Karawitan Sunda, banjar = berurutan
dengan teratur > banjar nada = tinggi-rendahnya nada yang berurutan dengan
teratur.
Menurut kamus Basa Sunda, banjar = barang, pakarangan.
Dengan memaknai baik secara kosa kata (etimologi) maupun
perlambangan (heurmanetika), ternyata kata Banjar mengandung makna yang sangat
positif, yaitu “tempat yang lingkungannya tertata rapi dari sejak dayeuh sampai
ke pelosoknya”.
Maka kini pekerjaan kitalah untuk menata kota
Banjar sehingga menjadi lingkungan yang rapi, teratur tidak kumuh dan tidak
rujit. Kalau keadaannya tidak demikian, maka namanya bukan Banjar lagi.
Bukankah kata para ahli “kalemesan budi” sering berujar bahwa setiap “asma
harus terwujud dalam af’alnya ” dan itu bisa diartikan bahwa sesuatu “nama”
harus tampak dalam fungsi dan realitas aktualnya, aplikatifnya.
BANJAR PATROMAN
Nama lain untuk kota
Banjar pada masa yang lampau adalah Banjar Patroman. Menurut kajian etimologi,
patroman berasal dari kata pataruman < pa-tarum-an = tarum adalah sejenis
pohon perdu yang tumbuh di tepi sungai (a.l. Sungai Citarum), daunnya digunakan
untuk bahan pencelup kain supaya berwarna biru tua (indigo). Bila diartikan
demikian apakah secara fisik di kota
Banjar dahulu pernah ada tempat mencelup kain dengan menggunakan daun tarum
(Pataruman > patroman). Hal ini perlu ditelusuri keberadaannya. Seandainya
bisa dikaji oleh para ahli, berkemungkinan nanti di sekitar kota Banjar akan
menjadi salah satu sentra “industri kain” dengan warna-warna khas
“banjar-patromanan (gradasi warna hijau sampai biru tua, hejo tarum)”, bukankah
Ciamis/Galuh pernah terkenal dengan batik khas Ciamisan yang pernah berjaya
pada masanya. (N.B tentu harus industri yang ramah lingkungan)
KOTA BANJAR
SEBAGAI GERBANG TATAR SUNDA
Kota Banjar adalah titik transit lalu lintas dari daerah
Jawa Barat ke arah Timur. Sebagai kota
transito, tentulah pembangunan yang terencana sangat dalam segala aspeknya
menjadi salah satu persyaratan yang perlu diutamakan. Tentang hal ini tentulah
Pemda Kota Banjar telah mempunyai cetak biru yang perlu kita dukung bersama,
agar “cetak biru” tsb bisa terwujud dengan sempurna. Hal ini perlu sosialisasi
yang memadai kepada masyarakat. Sehingga semua warga tahu peran yang harus
dilaksanakannya.
Selain dari itu Kota Banjar seibarat “pintu gerbang” Tatar
Sunda paling Timur/Selatan. Sehingga seyogyanyalah “wajah” kota
Banjar mencerminkan karakter masyarakat Sunda yang tertulis dalam setiap logo
di setiap kota/kabupaten dan bermuara pada Visi Provinsi Jawa Barat yaitu
“dengan Iman dan Takwa menjadi provinsi yang termaju dan terdepan sebagai mitra
ibu kota”.
Sebagai kota
transito akan semakin berperan besar bila jalan lintas Selatan telah dibuka.
Dan ini akan kita alami dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi.
ALAM KORBAN KESERAKAHAN MANUSIA
Dalam mitologi urang Sunda, bentukan alam seperti pohon,
gunung, sungai dan lainnya sering dipersonifikasikan sebagai “tubuh manusia”.
Hal ini menggambarkan betapa eratnya konsep kehidupan manusia dengan
lingkungannya. Sehinggsa sering dikatakan oleh para sesepuh “Diri urang teh nyaeta alam
sagir kekembaranana alam kabir. Lamun kualitas ajen diri alam sagir hade - alam
kabir oge bakal milu jadi hade. Sabalikna upama kualitas ajen alam
sagirna goreng - alam kabirna oge bakal narima balukarna anu goreng. Kitu deui
sabalikna alam kabir ruksak, lahir sagir manusa oge bakal kapangaruhan jadi
ruksak”.
Konsep kesadaran lingkungan yang begitu harmonis ini kini
tidak dihiraukan lagi. Sehingga Seyyed Hossein Nasr seorang sosiolog-religius
dari Mesir mengatakan bahwa: Alam telah dijadikan pelacur yang dikuras sampai
ketingkat yang paling brutal demi keserakahan manusia (dalam bukunya Antara
Tuhan - Manusia dan Alam : 29).
Pada masa lampau, kesadaran kita terhadap alam tidak hanya
sebatas hubungan mahluk “natural” saja tetapi juga dimaknai sebagi sumber
Keberkahan yang Ilhiah. Jagat raya beserta isinya merupakan keteraturan,
keharmonisan yang diciptakan oleh Sang Maha Pemurah dan Pengasih. Tetapi pada
masa sekarang kesadaran untuk hidup harmonis dengan lingkungan semakin menipis,
maka terjadilah DESAKRALISASI, segala sesuatu telah kehilangan nilai-nilai
ke-ilahi-annya.
Desakralisasi inilah yang melanda alam pemikiran bangsa
kita, sehingga alam dengan segala isinya diperlakukan dengan semana-mena. Kita
tidak faham lagi apa yang diamanatkan oleh Prabu Wastu Kancana dari Kerajaan
Galuh (1371-1475 M) yang tertulis pada prasasti Kawali VIII bahwa: “ULAH BOTOH
BISI KOKORO” (jangan serakah nanti sengasara).
SELURUH JAGAT RAYA MEMUJI ASMA ALLOH SWT
Di bawah ini saya sertakan terjemah Al-Qur’an dalam bahasa
Sunda berbentuk pupuh, yang disebut NUR HIDAYAHAN (Disiarkan melalui Studio RRI
Bandung setiap hari pukul 23.30-24.00):
AL
HAJJ. Surat ka-22 Ayat 18
Pupuh
Dangdanggula: Bumi alam sadayana wiridan ngagungkeun asma Alloh SWT.
XVII/:22/18
Naha anjeun tacan
keneh yakin, saeusina alam jagat raya, wiridan ka Gusti Alloh, ka Alloh nya
sumujud, saeusining bumi jeung langit, panonpoe jeung bulan, bentang katut
gunung jeung sato anu ngarayap, kitu deui lolobana mungguh jalmi, nyembah Alloh
Ta’ala.
XVII/:22/=18
Tapi loba ti antara
jalmi, nu geus pasti katetepanana, diajab ku Gusti Alloh, diajab ku Nu Agung,
jeung sing saha bae nya jalmi, ku Alloh sina hina, ‘mo aya nu nulung, taya anu
ngangkat mulya. Satemenna Alloh sakersa ngajadi, sagala sakersa-Na.
Sumber: NUR HIDAYAH Vol C. Rumpaka : Drs. H.R. Hidayat
Suryalaga.
(Makalah disampaikan pada Sosialisasi Bidang Penataan Ruang
melalui Aspek Agama dan Budaya. Dinas Tata Ruang dan Permukiman Prop. Jawa
Barat, di Banjar, 20-8-2004.
Mkl 276)
Referensi pendamping:
Rintisan Penelurusan
masa Silam Sejarah Jawa Barat. Pemda Tk I Jabar. 1983-1984.
Kebudayaan Sunda,
Edi S. Ekadjati. Pustaka Jaya. 1995.
Kamus
Kawi-Indonesia. Prof. Woyowasito. CV Pengarang. Cetakan 2.
Kamus Bahasa
Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11-18.Editor.Prof. Dr. Edi S. Ekadjati.
Kamus Istilah
Karawitan Sunda, Atik Soepandi, Skar. Satu Nusa. 1989.
Kasundaan -
Rawayan Jati. Drs. H.R. Hidayat Suryalaga. Wahana Raksa Sunda 2003.
No comments:
Post a Comment