Monday, January 30, 2012

Sejarah Nusantara versi Wikipedia


Sejarah Nusantara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Lihat pula:
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
l  b  s
Sejarah Nusantara dalam tulisan ini dimaknai sebagai catatan mengenai rangkaian peristiwa yang terjadi di kepulauan antara Benua Asia dan Benua Australia sebelum berdirinya Republik Indonesia.

Daftar isi

[sunting] Latar belakang alam

Sunday, January 29, 2012

Toponimi Ciamis


Toponimi Ciamis

Kabupaten Ciamis pada awalnya bernama Kabupaten Galuh. Sebelumnya, nama Galuh dipakai sebagai nama kerajaan dalam kurun waktu yang lama, dari abad ke-7 sampai abad ke-16 Masehi. "Kerajaan Galuh muncul pada abad ke-7 Masehi, didirikan oleh Wretikandayun,". Kerajaan Galuh ini terus eksis sampai akhir abad ke-16 dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Prabu Niskala Wastu Kancana yang pusat kerajaannya di Kawali.

Saturday, January 28, 2012

Mataram-Brawijaya-Joko Tingkir-Tuban


Tuban –Joko tingkir-Brawijaya

Pada waktu Prabu Brawijaya ke VII atau Ongkowijoyo VII bertahta selaku raja di Majapahit, (raja-raja yang dahulu juga dinamakan Brawijaya), Tuban jadi andalan Majapahit. Prabu Brawijaya kawin dengan Dwarmawati Putri Prabu Campa, suatu kerajaan di Kamboja. Pada waktu Brawijaya memerintah di Majapahit. Tuban merupakan bawahan dari padanya, di daerah Tuban berkuasa berturut-turut para Bupati, Aryo Randu Kuning, Aryo Bangah, Aryo Dandang Miring, Aryo Dandang Wacono, Aryo Ronggolawe, Aryo Sirolawe, Aryo Wenang, Aryo Leno, dan Aryo Dikoro, yang menurut sejarah memerintah sejak tahun 1200 hingga datangnya agama Islam ditanah Jawa pada permulaan abad ke XV.
Pada waktu Brawijaya (Wikramawardhana) memerintah, datanglah para penyiar agama Islam ditanah Jawa. Mereka adalah :

Friday, January 27, 2012

Link Download gratis Key Smadav dan Adobe

Link Download gratis Key Smadav dan Adobe

salam all

sedikit berbagi download link, utk yg memerlukan Anti virus Full,juga Keygen Adobe DreamweaverCS3 Disini
................hehee lumayan siih,cukup akurat dalam membasmi virus... ^_^

dan tidak lupa untuk hiburannya,bagi para penggemar Baca Komiknya Naruto terbaru Jan 2012,Naruto Shipuden terbaru 571 (Bijuu Mode) DiSini
Smadav full,Terbaru 2012 Disini
........
semoga bermanfaat ^_^

Thursday, January 26, 2012

RATU KALINYAMAT

RATU KALINYAMAT

Ratu Kalinyamat adalah seorang tokoh wanita yang sangat terkenal. Dia tidak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian “gagah berani” seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame yang seorang wanita yang pemberani. Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah dilukiskan oleh penulis Portugis Diego de Couto, sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa. Di samping itu, selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya (Diego de Couto, 1778-1788).
Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita Indonesia yang penting peranannya pada abad ke-16. Peranannya mulai menonjol ketika terjadi perebutan tahta dalam keluarga Kesultanan Demak. Ia menjadi tokoh sentral yang  menentukan dalam pengambilan keputusan. Di samping memiliki karakter yang kuat untuk memegang kepemimpinan, ia memang menduduki posisi strategis selaku putri Sultan Trenggana, Raja Demak ke tiga. Sultan Trenggana adalah  putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
Selama 30 tahun berkuasa, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara kepada puncak kejayaannya. Dengan armada lautnya yang sangat tangguh, Ratu Kalinyamat pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis di Malaka. Walaupun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan terhadap Portugis, ternyata ekspedisi tersebut mengalami kegagalan, dan pada akhirnya kembali ke Jawa. Seorang pemimpin ekspedisi militer Ratu Kalinyamat ke Malaka tersebut adalah Kyai Demang Laksamana (sumber Portugis menyebut dengan nama Quilidamao).
SIAPA TOKOH RATU KALINYAMAT?
Sejak terjadinya perebutan tahta di Demak, nama  Ratu Kalinyamat muncul dalam panggung sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa. Dalam  sejarah dinasti Demak, tokoh Ratu Kalinyamat mempunyai nama yang begitu menonjol ketika kerajaan itu mengalami kemerosotan akibat konflik perebutan tahta. Popularitasnya jauh lebih menonjol dibanding dengan Pangeran Hadiri,  bahkan Sultan Prawata, raja Demak ke empat.
Ratu Kalinyamat adalah putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, sultan Demak yang pertama.Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Retna Kencana yang kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat.  Retna Kencana kemudian  tampil sebagai tokoh sentral dalam penyelesaian konflik di lingkungan keluarga Kesultanan Demak. Setelah kematian Arya Penangsang, Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat. Penobatan ini ditandai dengan sengkalan tahun (candra sengkala) Trus Karya Tataning Bumi  yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549. Selama masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Menurut sumber Portugis yang ditulis Meilink-Roelofsz menyebutkan bahwa Jepara menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16.
Adanya gelar ratu menunjukkan bahwa di lingkungan istana kedudukannya cukup tinggi dan menentukan. Lazimnya gelar itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri, atau puteri sulung raja. Babad Demak Jilid 2 menempatkan Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana. Kalau ini benar, berarti gelar ratu sudah sepantasnya melekat padanya. Sebagai puteri sulung raja, ia disebut Ratu Pembayun. Pernyataan ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis.  Seorang musafir  Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datang lah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah  Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat adipati.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sultan Trenggana  mempunyai enam orang putra. Putra sulung adalah seorang putri yang dinikahi oleh Pangeran Langgar, putra Ki Ageng Sampang dari Madura. Putra ke dua seorang laki-laki yang bernama Pangeran Prawata yang kelak menggantikan ayahnya menjadi Sultan Demak ke tiga. Putra ke tiga seorang putri yang menikah dengan Pangeran Kalinyamat. Putra ke empat juga seorang putri yang menikah dengan seorang pangeran dari Kasultanan Cirebon.  Putra ke lima juga putri menikah dengan Raden Jaka Tingkir yang kelak menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada pun putra bungsu adalah Pangeran Timur, yang masih sangat muda ketika ayahnya wafat (Sudibyo, Z.H., 1980 : 62)
Dalam sumber-sumber sejarah Jawa Barat, dijumpai nama Ratu Arya Japara, atau Ratu Japara untuk menyebut nama Ratu Kalinyamat (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 128). Sementara itu  Serat Kandhaning Ringgit Purwa menyebutkan bahwa Sultan Trenggana berputra lima orang. Putra pertama hingga ke empat adalah   putri sedang putra bungsunya laki-laki. Putri sulung bernama Retna Kenya yang menikah dengan Pangeran Sampang dari Madura, putri ke dua adalah Retna Kencana yang menikah dengan Kyai Wintang, putri ke tiga adalah Retna Mirah menikah dengan Pangeran Riyo, putri ke empat seorang putri, dan putra bungsunya bernama Pangeran Prawata (Serat Kandhaning Ringgit Purwa. KGB No 7: 257). Dari sumber ini terungkap bahwa Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna Kencana. Suaminya, Kyai Wintang mempunyai sebutan lain Pangeran Hadiri/Pangeran Hadirin atau  Pangeran Kalinyamat (P.J. Veth, 1912).
Ratu Kalinyamat dapat digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas, berwibawa, bijaksana, dan pemberani.  Kewibawaan dan kebijaksanaannya tercermin dalam peranannya sebagai pusat keluarga Kesultanan Demak. Walau pun Ratu Kalinyamat sendiri tidak berputera, namun ia dipercaya oleh saudara-saudaranya untuk mengasuh beberapa keponakannya. Menurut sumber-sumber sejarah tradisional dan cerita-cerita tutur di Jawa, ternyata ia menjadi pusat keluarga Kerajaan Demak yang telah tercerai berai sesudah meninggalnya Sultan Trenggana dan Sultan Prawata...........
 
Ratu Kalinyamat adalah seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di Kalinyamat, suatu daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 kilo meter dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara-Kudus. Pada abad ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya. Th. C. Leeuwendal, Asisten Residen Jepara dalam Oudheidkundig Verslag 1930 menjelaskan mengenai lokasi kraton Kalinyamat dengan menggunakan berita dari Diego de Couto. Peta Karesidenan Kalinyamat terletak kira-kira 2 pal sebelah selatan Krasak dan di sebelah barat jalan besar Kudus-Jepara.
  Sementara itu P.J. Veth (1912) mencatat bahwa Kalinyamat pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk setempat dan para pegawai sama sekali tidak tahu  tempat yang tepat dari  bekas istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu Kalinyamat.  Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan, Kriyan, dan tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada dugaan Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para bangsawan). Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, pada hal tidak ada lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman. Di tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil (Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ ditemukan dinding tembok dari kraton lama yang diperkirakan panjang kelilingnya antara 5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang menonjol ke luar. Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang jalan besar Kudus, Jepara, Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an merupakan garis batas antara onderdistrik Pacangaan, Welahan, dan Kali Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton itu masih dalam kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil, memang ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di  tempat lain menunjukkan  adanya tempat mandi. Dengan melalui penggalian percobaan di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding benteng yang sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat itu juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih kecil ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah diambili  dan dimanfaatkan oleh penduduk.  
 Di samping itu P.J. Veth memperoleh temuan penting dari berita Portugis mengenai "Cerinhama" atau "Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah kerajaan laut atau kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau kira-kira 12,5 pal ke pedalaman. Di tempat itu lah letak reruntuhan kraton Kalinyamat yang menjadi tempat kedudukan atau peristirahatan Ratu Jepara. (Veth III, 1882 : 762).
Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
 ............................
Sumber : 
Oleh : Chusnul Hayati
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro, Semarang

DAFTAR PUSTAKA

Cortesao, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendeln/Lichtenstein: Kraus Reprint-Limited, 1967.     

Couto, Diego de. 1778-1788. Da Asia. Jilid V. Lisboa.

Djajadiningrat, Hoesein.  1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Terjemahan KITLV dan LIPI. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Gina dan Babariyanto.  Babad Demak II. 1981. Transliterasi Terjemahan Bebas.  Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Graaf, H.J. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Terjemahan Grafitipers dan KITLV. Jakarta: Grafitipers.

Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.

_______. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia.

Meilink, Roeloffsz. 1962. Asia Trade: Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague : Martinus Nijhoff.

Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara Pemda Kabupaten Tingkat II Jepara. 1988. Sejarah  dan Hari Jadi Jepara.

Slamet Mulyono,  1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhatara.

Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian Lokasi Bekas Kraton Demak. Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.

Sulendraningrat, P.S. 1972. Nukilan Sedjarah Tjirebon Asli. Tjirebon: Pusaka.

Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.

Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Veth, P.J. 1912. Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch. Cetakan ke dua.  Haarlem.

Wednesday, January 25, 2012

Toponimi Cimahi


Toponimi Cimahi

Penamaan tempat di suatu daerah atau negara dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain, dari cerita rakyat (legenda), segi historis, dan segi linguistik. Legenda merupakan cerita rakyat yang menceritakan tokoh terkenal pada masanya atau terjadinya alam, manusia, hewan, dan tumbuhan. Legenda tempat banyak dijumpai di berbagai suku bangsa di Indonesia. Di samping dilihat dari segi legenda, toponimi atau sistem penamaan daerah di Jawa Barat, dapat pula dilihat dari berbagai versi dan cara, antara lain, dari segi linguistik dan historis.

Nama ―Cimahi , merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata, yakni ci kependekan dari cai ‗air‘ dan mahi ‗cukup. Secara harfiah kata cimahi berarti ‗air yang cukup‘. Hal ini sejalan dengan kebiasaan orang Sunda yang dalam memberi nama tempat disesuaikan dengan keadaan lingkungan alamnya, terutama lingkungan alam Tatar Sunda yang sangat kaya dengan airnya.

Serial Number - Adobe Dreamweaver CS3-keygen photoshopCS3


Serial Number - Adobe Dreamweaver CS3 ( Serial Number )
iseng-iseng ,hatur lumayan tina browsing mbah google ,manggihan SN Adobe Dreamweaver CS3
Sumangga dicek weh…….:
Aya oge,keygen,”Adobe Photoshop cs3 jeung Coreldraw x4

Monday, January 23, 2012

MACAM-MACAM DAN CARA PAKE IKET

Gambar Rupi2 iket,kintunan ti Kkg Ncep Borneo...

jadi cara pakai nya seperti di bawah ini

Iket ini dibuat dari kain batik (klo di pulo jawa) segi empat yang dilipat sedemikian rupa menjadi model-model khas.  Terdapat perbedaan model iket untuk di Jawa Barat dan Jawa Tengah.  Dalam artikel ini kita mencoba membuat model-model iket Sunda.  Model-model iket ini diberi nama-nama seperti barangbang semplak, parekos, atau porteng.

Sunday, January 22, 2012

KIDUNG LUMAYUNG


= KIDUNG LUMAYUNG =


Lagu kidung ngalanglaung
Panundung bingung kaliwung
Pamentung laku kapahung
Kaambung ka awang-uwung
Papayung para pangagung
Nu manggung tur hurung nangtung
Malar jucung, sangkan nanjung
Henteu linglung kapidangdung

Saturday, January 21, 2012

Out of Sunda? Provenance of the Jōmon Japanese (1)


Out of Sunda? Provenance of the Jōmon Japanese (1)
Edwina Palmer
University of Canterbury, Christchurch, New Zealand

This discussion attempts to reconcile various seemingly contradictory research results regarding the origins of Jōmon Japanese. The focus is on testing Oppenheimer’s theory of Holocene outmigration from the former continent of Sundaland in present-day Southeast Asia against the evidence relating to Jōmon Japan and the “Out of Taiwan” hypothesis for Austronesian language dispersal. It is argued here that postglacial flooding of Sundaland prompted some former inhabitants to migrate from around ten or eleven thousand years ago, and that they followed the expanding belt of lucidophyllous forest, eventually to settle in what is now Japan during the Jōmon Period, in accordance with the theory of regional pockets of “laurilignosa culture.” It is stressed that some of these people were probably speakers of Austronesian languages. Further, it is argued that the “Out of Taiwan” movement of Austronesian language speakers could have occurred later as a migratory counterflow accompanying the Holocene maximum, and that an “Out of Sunda” scenario of migration to Japan in the Jōmon period is not necessarily entirely incompatible with such an “Out of Taiwan” theory.

Introduction
In the past quarter century or so the question of the relationship between the prehistoric inhabitants of the Japanese archipelago and others beyond its shores has been the topic of much scholarly debate. This discourse encompasses a wide range of evidence from different disciplinary sources, including in the fields of archaeology, anthropology, and historical linguistics. The various arguments
intersect at several points but conflict others. As yet there has emerged no clear-cut resolution to this debate. The present  essay will attempt to navigate the reader through analysis of the arguments in some of these diverse literatures, in order to advance the discussion and to suggest probabilities that take into account  both the overlaps and disjunctures in the evidence. The prevailing thinking has gone through several phases, which in some cases are tantamount to a volte-face. A brief overview is as follows.
First, a school of thought linked Jōmon 縄文 period (ca. 13,680–410 bce1) Japanese and indigenous Japanese Ainu with “Austronesians,” on the basis of cranial measurements

This view, led by Brace et al 99..(199 0), was partly corroborated by Benedict’s historical reconstruction of the Japanese language as having some Austronesian roots.3 This line of research ultimately speculated that Jōmon Japanese were the ancestors of modern Micronesians and Polynesians.4 Then Hanihara (199 1) and Turner (199 2) took the lead with their findings based mainly on dentition, to the effect that while Jōmon Japanese appeared to be most clearly related to Ainu and modern Southeast Asians, the population of the succeeding Yayoi 弥生 period (ca. 500 bce–300 ce)5 predominantly comprised Northeast Asians who had migrated to Japan mainly through the Korean Peninsula. At the same time it was recognized that this was a great oversimplification of the situation and that things were actually much more complex.6 There seems to have been little exploration of the issue of how or why such Southeast Asian peoples went to Japan in the Jōmon period. 7

Among views opposing the Jōmon/south–Yayoi/north taxonomy, it has also been proposed that it was later Yayoi people who accounted for Southeast Asian aspects of Japanese culture rather than the Jōmon.8 While the situation in Jōmon Japan is by no means clear, that in Holocene Southeast Asia is no more so.
This question obviously interrelates with what was happening in Southeast Asia at that time. In 99� the writing about that region,�,,,,,,,,,,,,the preeminent view, championed by Bellwood (199 7), argues for an “Out of Taiwan” scenario of Austronesian dispersal, originating in Taiwan and moving southward through Southeast Asia—more or less when the Hanihara-Turner scenario would have people moving in completely the opposite direction.9 The “Out of Taiwan” school of thought is based on a combination of evidence from archaeology (particularly the appearance of pottery and agriculture), biological anthropology ,,,,,,and historical linguistics. It places aboriginal Taiwanese as the ancestors of modern Polynesians.10

The “Out of Taiwan” scenario is now in turn facing criticism. The reliance on the appearance of pottery has been challenged,11 and it does not seem to explore adequately the links between Taiwan and Japan, where pottery is dated even earlier than in Taiwan.12 The question of the dispersal of agriculture, let alone that it was by “Austronesians,” remains largely hypothetical.13 The chief critic is Oppenheimer, on the grounds that it does not fit the genetic picture sufficiently well, either.14 The theories cannot both be right, since the “Taiwan” theory has Austronesian speakers originating in the north and moving south, while the “Sunda” theory has Austronesian-speaking people originating in the south (currently thought to be around Wallacea)15 and moving north, within approximately the same timeframe. In short, as research in this field has progressed, it has tended to demonstrate increasingly that the whole picture is exceptionally complex.16 As an outsider, so to speak—a geographer originally—my view is that the theories outlined above are not necessarily “all or nothing” matters of proof or disproof; they may well all be both right and wrong in parts, and are not necessarily entirely mutually exclusive. A common-sense approach—that humans were never traveling in only one direction at any time—may accommodate many aspects of the various theories proposed.

The Approach of this Study
The aim of this essay, then, is not to refute outright any of the above lines of reasoning, since they all contain much that is instructive. The aim is to explore the latest scenario pro­posed, which I call “Out of Sunda ..up to now those who have explored this have said little about JAPAN………

The focus hereis entirely on Jōmon Japan its relationship to Southeast Asia��. How plausible is Oppen heimer’s scenario in respect of Japan?17


Thiel (1987) postulated that reduction of land area in Southeast Asia during the periods of rising sea level after the Ice Ages caused increased population density that led people to seek new lands.18 Oppenheimer elaborated on this point and challenged several prevailing scholarly views—including the “Out of Taiwan” hypothesis—in his book, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia (Oppenheimer �99� 199 8)�.19 His main argument was that rising sea levels caused such pressure on the diminishing land that it forced some of the inhabitants of Southeast Asia to depart in many directions in search of new lands. However, his interest lies in a putative thrust across the Indian Ocean, and he says little about whether or not some might have gone to Japan. Does Oppenheimer’s theory have relevance for the situation in Jōmon Japan?
The present essay will suggest that some of the migrants out of Southeast Asia who were fleeing from postglacial flooding ended up in the Japanese islands, eventually to settle and account for many or most of the Southeast Asian aspects of the Japanese population and culture that are recognized today.

If migrations took place, then the people of the time must have been equipped with the technology to travel safely and with purpose. It is now largely accepted that the prehistoric inhabitants of Southeast Asia were sufficiently advanced to be able to voyage intentionally eastward as far as the Solomon Islands as long as thirty thousand years ago. The period under scrutiny here is much later: it can be safely assumed that Southeast Asians during the Holocene were already sufficiently skilled seafarers.

The hypothesis proposed here, then, rests on several explicit assumptions. First, that some Jōmon Japanese originated in Southeast Asia. Strong evidence from biological anthropology, especially with the advent of DNA testing, has established that some portion of the population of Japan in the Jōmon period was overwhelmingly more closely related to present-day Ainu and Southeast Asians than to any others.20 But where, more precisely, did they come from? When? After all, the Jōmon period lasted some thirteen thousand years. Can we deduce whether they arrived in a steady flow, or in waves, and if so, when, exactly? And why did they go to Japan? Whatever could have prompted them to leave their homeland and perhaps make a long and perilous voyage to Japan? These are questions that have so far not been adequately addressed or satisfactorily answered.
Second, I assume that the population of Jōmon Japan was by no means homogeneous. On the basis largely of cranial measurements, Howells (1986) concluded “that Jōmon peoples were varied locally or tribally, and . . . were entirely unlike modern Japanese.”21 Pearson likewise states that “recent discoveries in Aomori and southern Hokkaido, the Japan Sea coast region, and Kagoshima have challenged the notion that there was a single heartland of Jomon Culture in the Chubu and Tohoku regions.”22 Clearly, in discussing Jōmon Japanese, we are referring to the composition of the population spanning at least thirteen millennia across the whole of the present Japanese archipelago: Jōmon peoples, plural, is the operative phrase in the quotation above. I also believe that there is sufficient evidence to suggest that some spoke an Austronesian language or languages.
Third, I assume that Southeast Asians had the skill and competence to reach Japan by sea routes. I attempt to address the questions of when and why Neolithic humans risked such
a long voyage northward across the Pacific Ocean. Following Oppenheimer, I hypothesize here that the well-attested arrival of immigrants from Southeast Asia to Japan during the Jōmon period was largely, or at least in part, as a result of the flooding of the former Southeast Asian continent of Sundaland, Wallacea, and perhaps northern Sahulland at the end of the Ice Ages.
Fourth, I assume that whatever the predominant migration flows were at any one time, once destinations were explored or settled it is likely that there were counterflows, an important but plausible point that seems to be all but ignored in the literature. I should like to stress at the outset that I do not contend that at any given point in time, migrations to Japan were necessarily unidirectional. On the contrary, to judge by the diversity in the composition of the population and the conflicting evidence emerging from research, it seems that migrations have taken place both into and out of Japan to a greater or lesser degree, and probably both to and from virtually all directions that the existing population source(s), climate, ocean currents, and transport technology of the time allowed, ever since humans first arrived there.23 This would account for the variability (peoples) noted above. My examination here of putative Southeast Asian migration to Japan in Jōmon times assumes that humans were traveling both to and from Japan to interact with other places at the same time. In other words, the theory that some Jōmon Japanese originated in Southeast Asia is not exclusive and in no way precludes the possibility that other sectors of the Jōmon population originated elsewhere. Nor does it exclude the likelihood that some prehistoric Southeast Asian influence on Japan dated from a different period.
…………
………(bersambung ke Bag 2)

Mantra dan Jati Diri Bangsa


Mantra dan Jati Diri Bangsa

Oleh Sri Sultan HB X,

PUSAKA Indonesia terhampar luas dari puncak gunung, pusat-pusat kota tua, pedesaan, candi, hingga pulau-pulau dan lautan beserta isinya, termasuk juga seni budaya. Keanekaragaman alam dan budaya yang ada di Nusantara ini merupakan ”Pusaka Bangsa” yang dapat memperkuat semangat ”Bhinneka Tunggal Ika”. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat penting artinya dalam upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional adalah naskah-naskah kuna. Pada dasarnya naskah-naskah lama itu merupakan dokumen budaya yang berisi data dan informasi tentang pikiran, perasaan, dan pengetahuan

Friday, January 20, 2012

LALAKON JAMAN PRABU SILIWANGI





LALAKON PRABU SILIWANGI

Lajeng dina peuting nu didamaran ku samar bulan
Urang longok Raja urang
Nu dihurup ku musuh genepan !
Perang na rosa jasa
Eta genep papatih

Sisindiran - Abah Ganda


Sisindiran - Abah Ganda

Kucuran mah cai kucuran
Kucuran mah caina empang
                             Haturan mah abdi haturan
                        Haturan nembe patepang

            Boboko ragrag di imah
            Ninggang kana pileuiteun
                        Bobogohan ulah ka semah
                        Ari balik sok leungiteun

            Sekemandung Cigarokgok
            Ka lebak ka Tuan Heni
                        Pikir bingung badan ruksak
                        Ngajodo ka nini - nini
           
            Ti batan balik ka Garut
            Menta kejo dinu daun
                        Ti batan malikan urut
                        Menta tempo tilu taun
           
            Cipulus jalan Maruyung
            Lebakeun mah Cibiru beet
                        Teu mulus kantun ka bingung
                        Moal terap ku pamelet

            Ban karet mah gogorolongan
            Bongan saha dikasawahkeun
                        Kapelet mah ku popotongan
                        Bongan saha diserahkeun
           
            Sanajan hayam-hayaman
            Tarik kolot Bojongloa
                        Sanajan hayang-hayangan
                        Ari kolot henteu doa

            Babako ayakan leutik
            Siki cabe diawurkeun
                        Bobogohan ti leuleutik
                        Geus gede dikabaturkeun

Mochamad Ziaulhaq, Peminat Studi Agama dan Budaya.
Diambil dari Haleuang Abah Ganda, seorang Juru Pantun dan Sesepuh di Batununggal Cijambe Kab. Bandung [Maret, 2005].
Ti Grup : Pustaka Sunda

ngabagi sareng ngepost ulang weh ieu mah...hehee :)
sumangga nyanggakeun....

Wednesday, January 18, 2012

Temukan Cinta Anda


Temukan Cinta Anda

Bila anda tak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang
bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan,
pekerjaanpun menjadi menggembirakan.

Sunday, January 15, 2012

SILSILAH KARUHUN SUKAPURA


SILSILAH KARUHUN SUKAPURA


Hatur lumayan aya silsilah urang nu sampe ka luhurna (dugi ka Aki Tirem), mung punten teu ditulis ka gigir-gigirna ieu mah dcandak nu sagaris wae (nu pakait wungkul) sareng deui punteun teu lewat gambar JPEG margi teu kabujeung... ieu mah mungtawis katineung nu kapungkur tos jangji tea.. kirang lengkap na mah Insya Allah kapayunna diperbaharui deui (lewat gambar)Sateuacana maos ieu silsilah & supados eces....  ieu katerangan2 nu aya di ieu tulisan:kanggo tanda | (gars lurus) ngajelaskeun berputra (ngagaduhan putra) conto kieu :

Ki Nesan
|
Ki Datuk Banda
|
Ki Datuk Waling

SASAKALA INDRAMAYU


SASAKALA INDRAMAYU

Tersebutlah pemuda yang sangat tampan,
gagah, dan memiliki kesaktian tinggi. Ia bernama
Wiralodra, putra Tumenggung Gagak Singalodra, dari
Banyurip, Bagelen, Jawa Tengah. Karena ketampanan
dan kesaktiannya itulah, Wiralodra menjadi pujaan
banyak perempuan.
Sebagai kstaria pilih tanding, Wiralodra
mempunyai keinginan untuk mendirikan sebuah
kerajaan. Ia tidak ingin menjadi raja karena hasil
pemberian dari ayahnya atau orang lain. Maka sebagai
langkah awal, Wiralodra pun melaksanakan tapabrata
di suatu tempat yang bernama Malaya di kawasan
lembah Gunung Sumbing.

Saturday, January 14, 2012

Meditasi Sufi (bag 2)


assalamualaikum wr wbrkth.....
sekarang mari kita lanjutkan tentang meditasi sufi......... 

Langkah 3a 

Posisi duduk : Posisi Teratai (yoga Lotus) adalah oke, Wudu Ritual
Wudhu adalah kunci sukses. Kapal Nabi Nuh a.s. melawan banjir
kebodohan (cuek). Kebersihan adalah dekat dengan iman (ilahiah). Ingat
bahwa bukanlah saya yang menghitung bahwa saya adalah bukan apa-apa,
saya dan aku harus melebur kedaalam dia. Shaykh ku, Rasul ku ,
menggiring kepada Rabb ku..

Friday, January 13, 2012

Meditasi Sufi Bag 1


Meditasi Sufi Bag 1
 
BISMILLAH HIR RAHMAN NIR RAHiiM; ALLAHUMMA SALLI ALA SAYYIDINA
MUHAMMADIN NABEE YIL UMMEE WA ALIHI WA BARIK WA SALLIM......

Sasaran dan maksud Muraqabah/Meditasi/Rabita Sharif adalah untuk
memperaragakan kehadiran terus-menerus ke dalam realitas Shaykh.
Semakin seseorang memelihara pelatihan ini, semakin terungkapkan

Thursday, January 12, 2012

Ibu/Indung menurut Ajaran Sunda


Ibu/Indung menurut Ajaran Sunda

dina ajaran Sunda (Nusanta-Ra) nu disebat INDUNG teh aya 3 (anu ngamanunggalkeun DIRI gumelar di alam dunya) nyaeta :
 1. Indung anu TEU NGANDUNG (Ibu Pertiwi)
 2. Indung anu NGANDUNG (Ibu Kandung)
 3. Indung anu DIKANDUNG ('Hate')

 Ka 3 Indung ieu teh kanyaah-na saeneng-eneng tara pernah lepas nangtayungan ku asih jeung pangasih,,, jsb.

INTI DARI SEMUA ANASIR POSITIF YANG ADA DI ALAM SEMESTA


INTI DARI SEMUA ANASIR POSITIF YANG ADA DI ALAM SEMESTA.
Alif

Dalam hadits Nabi SAW bersabda;
"Setiap kandungan dalam seluruh kitab kitab Allah diturunkan,semuanya ada di dalam Al Qur'an dan seluruh kandungan Al-Qur'an ada dalam Al-Fatikah. Dan SEMUA YANG ADA DALAM Al-Fatikah ada di dalam Bismillahirrahmanirrahim."
 ...
>"Setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa' ,dan setiap yang terkandung di dalam Baa' ada di dalam titik yang berada di bawah Baa' "

Dalam pespektif orang yang ma'rifat kepada Allah, Bismillaahirrahmaanirrahim PUNYA KEDUDUKAN SAMA DENGAN " KUN DARI ALLAH." _/\_

Wednesday, January 11, 2012

Pikiran: Apakah Kalian Tidak Memperhatikan?


“Dan (juga) pada diri kalian. Apakah kalian tidak memperhatikan?”
Peraslah jeruk, hasilnya pasti sari jeruk. Peraslah mangga, pun hasilnya sari mangga. Tak mungkin apa yang kita peras, hasilnya bukan dari apa yang kita peras. Tak mungkin peras mangga hasilnya sari selain mangga kan?...............................

Monday, January 9, 2012

Dibalik kisah pengorbanan IBRAHIM a.s


Dibalik kisah pengorbanan IBRAHIM a.s

oleh: KH.BACHTIAR AHMAD
repost : Akang Lii

Setiap kali datang Idul Adha, maka yang banyak dibicarakan serta dikisahkan kembali adalah: Bagaimana keteladanan Nabiyallah Ibrahim a.s dan putranya Ismail a.s dalam melaksanakan perintah “kurban” yang mereka terima dari Allah SWT, yang menjadi titik awal dari pelaksanaan “ibadah kurban” yang dilakukan oleh segenap kaum muslimin setiap kali datang bulan Dzulhijjah.

Friday, January 6, 2012

Sinom Bungur (sinom)


 Sinom Bungur

Tangkal bungur ngarangrangan
daunna perang gararing
kembangna nungtut ragragan
marurag katebak angin
tangkal bungur horeng silib
silokana nu rek ngantun
nya mulang ka Kalanggengan
papasten GustiYangWidi
poe eta horeng poe panungtungan.
……..

Praktek Beladiri dengan Wirid Asma’ul Husna


Praktek Beladiri dengan Wirid Asma’ul Husna 

     Assalamualaikum wr wbrkt............
sekilas tentang Beladiri Wirid Asma’ Husna dalam sebagian masyarakat Islam santri diamalkan bukan hanya untuk tujuan ibadah mahdhoh dengan memperbanyak berzikir semata-mata. Namun, pada sisi lain, wirid Asma’ul Husna dipakai pula untuk sarana berlatih fisik, yaitu latihan bela diri

Thursday, January 5, 2012

Sajarah Singget Garut


Sajarah Singget Garut

Garut nu kiwari jadi salah sahiji kabupatén di Provinsi Jawa Barat, boga sajarah anu panjang. Awalna ieu wewengkon teh kabawa ka Kabupatén Limbangan, tuluy jadi Limbangan – Garut, sarta ahirna jadi Kabupatén Garut.