RATU KALINYAMAT
Ratu Kalinyamat adalah seorang tokoh wanita yang sangat
terkenal. Dia tidak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian
“gagah berani” seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai
De Kranige Dame yang seorang wanita yang pemberani. Kebesaran Ratu Kalinyamat pernah dilukiskan oleh penulis Portugis Diego de Couto, sebagai
Rainha de Japara, senhora paderosa e rica
yang berarti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa. Di
samping itu, selama 30 tahun kekuasaannya ia telah berhasil membawa
Jepara ke puncak kejayaannya (Diego de Couto, 1778-1788).
Ratu Kalinyamat adalah tokoh wanita Indonesia yang penting peranannya
pada abad ke-16. Peranannya mulai menonjol ketika terjadi perebutan
tahta dalam keluarga Kesultanan Demak. Ia menjadi tokoh sentral yang
menentukan dalam pengambilan keputusan. Di samping memiliki karakter
yang kuat untuk memegang kepemimpinan, ia memang menduduki posisi
strategis selaku putri Sultan Trenggana, Raja Demak ke tiga. Sultan
Trenggana adalah putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
Selama 30 tahun berkuasa, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa
Jepara kepada puncak kejayaannya. Dengan armada lautnya yang sangat
tangguh, Ratu Kalinyamat pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis
di Malaka. Walaupun telah melakukan taktik pengepungan selama tiga bulan
terhadap Portugis, ternyata ekspedisi tersebut mengalami kegagalan, dan
pada akhirnya kembali ke Jawa. Seorang pemimpin ekspedisi militer Ratu
Kalinyamat ke Malaka tersebut adalah Kyai Demang Laksamana (sumber
Portugis menyebut dengan nama Quilidamao).
SIAPA TOKOH RATU KALINYAMAT?
Sejak terjadinya perebutan tahta di Demak, nama Ratu Kalinyamat
muncul dalam panggung sejarah Indonesia, khususnya sejarah Jawa. Dalam
sejarah dinasti Demak, tokoh Ratu Kalinyamat mempunyai nama yang begitu
menonjol ketika kerajaan itu mengalami kemerosotan akibat konflik
perebutan tahta. Popularitasnya jauh lebih menonjol dibanding dengan
Pangeran Hadiri, bahkan Sultan Prawata, raja Demak ke empat.
Ratu Kalinyamat adalah putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah,
sultan Demak yang pertama.Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Retna
Kencana yang kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Retna Kencana
kemudian tampil sebagai tokoh sentral dalam penyelesaian konflik di
lingkungan keluarga Kesultanan Demak. Setelah kematian Arya Penangsang,
Retna Kencana dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu
Kalinyamat. Penobatan ini ditandai dengan sengkalan tahun (
candra sengkala)
Trus Karya Tataning Bumi yang
diperhitungkan sama dengan 10 April 1549. Selama masa pemerintahan Ratu
Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Menurut sumber
Portugis yang ditulis Meilink-Roelofsz menyebutkan bahwa Jepara menjadi
kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut
yang besar dan kuat pada abad ke-16.
Adanya gelar ratu menunjukkan bahwa di lingkungan istana kedudukannya
cukup tinggi dan menentukan. Lazimnya gelar itu hanya dipakai oleh
orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri, atau
puteri sulung raja.
Babad Demak Jilid 2 menempatkan Ratu
Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana. Kalau ini benar,
berarti gelar ratu sudah sepantasnya melekat padanya. Sebagai puteri
sulung raja, ia disebut Ratu Pembayun. Pernyataan ini memiliki
kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir Portugis yang
bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di
Banten pada tahun 1544, datang lah utusan Raja Demak, seorang wanita
bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang
dimaksudkan adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu
diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya
seorang penguasa daerah setingkat adipati.
Menurut
Babad Tanah Jawi, Sultan Trenggana mempunyai enam
orang putra. Putra sulung adalah seorang putri yang dinikahi oleh
Pangeran Langgar, putra Ki Ageng Sampang dari Madura. Putra ke dua
seorang laki-laki yang bernama Pangeran Prawata yang kelak menggantikan
ayahnya menjadi Sultan Demak ke tiga. Putra ke tiga seorang putri yang
menikah dengan Pangeran Kalinyamat. Putra ke empat juga seorang putri
yang menikah dengan seorang pangeran dari Kasultanan Cirebon. Putra ke
lima juga putri menikah dengan Raden Jaka Tingkir yang kelak menjadi
Sultan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada pun putra bungsu adalah
Pangeran Timur, yang masih sangat muda ketika ayahnya wafat (Sudibyo,
Z.H., 1980 : 62)
Dalam sumber-sumber sejarah Jawa Barat, dijumpai nama Ratu Arya
Japara, atau Ratu Japara untuk menyebut nama Ratu Kalinyamat (Hoesein
Djajadiningrat, 1983: 128). Sementara itu
Serat Kandhaning Ringgit Purwa
menyebutkan bahwa Sultan Trenggana berputra lima orang. Putra pertama
hingga ke empat adalah putri sedang putra bungsunya laki-laki. Putri
sulung bernama Retna Kenya yang menikah dengan Pangeran Sampang dari
Madura, putri ke dua adalah Retna Kencana yang menikah dengan Kyai
Wintang, putri ke tiga adalah Retna Mirah menikah dengan Pangeran Riyo,
putri ke empat seorang putri, dan putra bungsunya bernama Pangeran
Prawata (
Serat Kandhaning Ringgit Purwa. KGB No 7: 257). Dari
sumber ini terungkap bahwa Ratu Kalinyamat memiliki nama asli Retna
Kencana. Suaminya, Kyai Wintang mempunyai sebutan lain Pangeran
Hadiri/Pangeran Hadirin atau Pangeran Kalinyamat (P.J. Veth, 1912).
Ratu Kalinyamat dapat digambarkan sebagai tokoh wanita yang cerdas,
berwibawa, bijaksana, dan pemberani. Kewibawaan dan kebijaksanaannya
tercermin dalam peranannya sebagai pusat keluarga Kesultanan Demak.
Walau pun Ratu Kalinyamat sendiri tidak berputera, namun ia dipercaya
oleh saudara-saudaranya untuk mengasuh beberapa keponakannya. Menurut
sumber-sumber sejarah tradisional dan cerita-cerita tutur di Jawa,
ternyata ia menjadi pusat keluarga Kerajaan Demak yang telah tercerai
berai sesudah meninggalnya Sultan Trenggana dan Sultan Prawata...........
Ratu Kalinyamat
adalah seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di Kalinyamat, suatu
daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 kilo
meter dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara-Kudus. Pada abad
ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat
adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya. Th. C.
Leeuwendal, Asisten Residen Jepara dalam Oudheidkundig
Verslag 1930 menjelaskan mengenai lokasi kraton Kalinyamat dengan
menggunakan berita dari Diego de Couto. Peta Karesidenan Kalinyamat terletak
kira-kira 2 pal sebelah selatan Krasak dan di sebelah barat jalan besar
Kudus-Jepara.
Sementara itu P.J. Veth (1912) mencatat bahwa
Kalinyamat pernah menjadi tempat kedudukan Ratu Jepara, suatu tempat yang
ditemukan jejak-jejak atau bekas kebesaran masa lalu. Meski pun penduduk setempat
dan para pegawai sama sekali tidak tahu
tempat yang tepat dari bekas
istana, tetapi setiap orang berbicara mengenai Ratu Kalinyamat. Di berbagai desa seperti Purwogondo, Robayan,
Kriyan, dan tempat-tempat lain terdapat legenda mengenai Ratu Kalinyamat. Ada
dugaan Krian mungkin merupakan tempat para "rakriya" (para
bangsawan). Beberapa tempat di daerah ini masih bernama Pecinan, pada hal tidak
ada lagi orang Cina yang bertempat tinggal di situ. Kemudian diketahui bahwa
desa Robayan dan beberapa desa lainnya masih memakai nama Kauman. Di
tempat-tempat tertentu orang masih menyebutnya dengan nama Sitinggil
(Siti-inggil), yang terletak di tengah-tengah tanah tegalan. Di situ ditemukan
dinding tembok dari kraton lama yang diperkirakan panjang kelilingnya antara
5-6 km persegi. Di sana sini terdapat benteng yang menonjol ke luar.
Batas-batas dari kraton kira-kira meliputi sepanjang jalan besar Kudus, Jepara,
Kali Bakalan, yang pada tahun 1900-an merupakan garis batas antara onderdistrik
Pacangaan, Welahan, dan Kali Kecek. Di kebanyakan tempat, tembok-tembok kraton
itu masih dalam kondisi yang bagus. Di suatu tempat yang disebut Sitinggil,
memang ditemukan bangunan batu bata yang ditinggikan, sementara di tempat lain menunjukkan adanya tempat mandi. Dengan melalui
penggalian percobaan di beberapa tempat dapat ditemukan adanya dinding-dinding
benteng yang sangat berat yang memanjang sampai beberapa ratus meter. Di tempat
itu juga ditemukan fondasi-fondasi yang terbuat dari batu bata yang lebih kecil
ukurannya dari pada emplasemen Majapahit. Batu-batu bata ini telah
diambili dan dimanfaatkan oleh penduduk.
Di samping itu P.J. Veth memperoleh temuan
penting dari berita Portugis mengenai "Cerinhama" atau
"Cherinhama" yang disebut sebagai ibukota sebuah kerajaan laut atau
kota pelabuhan Jepara yang terletak 3 mil atau kira-kira 12,5 pal ke pedalaman.
Di tempat itu lah letak reruntuhan kraton Kalinyamat yang menjadi tempat
kedudukan atau peristirahatan Ratu Jepara. (Veth III, 1882 : 762).
Diperkirakan
bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di
Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan
Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota
pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof).
Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang
tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan
sebagai tempat peristirahatan.
............................
Sumber :
Oleh : Chusnul Hayati
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro, Semarang
DAFTAR PUSTAKA
Cortesao, Armando. 1967. The Suma
Oriental of Tome Pires. Nendeln/Lichtenstein: Kraus Reprint-Limited, 1967.
Couto, Diego de. 1778-1788. Da Asia.
Jilid V. Lisboa.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten.
Terjemahan KITLV dan LIPI. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Gina dan Babariyanto. Babad Demak
II. 1981. Transliterasi Terjemahan Bebas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Graaf, H.J. 1986. Kerajaan-Kerajaan
Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Terjemahan Grafitipers
dan KITLV. Jakarta: Grafitipers.
Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
_______. 1987. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta:
Gramedia.
Panitia Penyusunan Hari Jadi Jepara Pemda Kabupaten Tingkat II Jepara. 1988. Sejarah
dan Hari Jadi Jepara.
Slamet Mulyono, 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhatara.
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian
Lokasi Bekas Kraton Demak. Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan
Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
Sulendraningrat, P.S. 1972. Nukilan
Sedjarah Tjirebon Asli. Tjirebon: Pusaka.
Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi.
Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Veth, P.J. 1912. Java, Geographisch,
Ethnologisch, Historisch. Cetakan ke dua.
Haarlem.