Sunday, April 29, 2012

PENDIRI MAJAPAHIT


BIOGRAFI BANGSAWAN DARI TATAR SUNDA PENDIRI MAJAPAHIT 'SRI MAHARAJA KRTARAJASA JAYAWARDHANA' (RADEN WIJAYA)

ŚRI MAHARAJA KRTARAJASA JAYAWARDHANA (1293 - 1309)  Raden  Wijaya adalah Pendiri sekaligus Raja Majapahit yang pertama. Raden  Wijaya dinobatkan pada bulan Kartika tahun 1215 saka, yaitu 12 Nopember  1293 dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. Ia juga dikenal dengan  nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya menurut Kidung Harsa Wijaya. Raden  Wijaya adalah anak Rakeyan Jayadarma, raja ke-26 dari Kerajaan  Sunda Galuh , dan Dyah Lembu Tal, seorang putri Singhasari. Dengan  demikian, Raden Wijaya merupakan keturunan langsung dari Wangsa Rajasa,  yaitu dinasti pendiri Kerajaan Singhasari. Ken Arok, Raja pertama  Singhasari (1222-1227) memiliki anak Mahesa Wong Ateleng dari Ken Dedes.  Mahesa Wong Ateleng memiliki anak Mahesa Cempaka bergelar  Narasinghamurti. Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak  Dyah lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian  menurunkan Raden Wijaya. Ibukota kerajaan Majapahit meliputi  Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan  kecamatan Mojoagung, Mojowarno serta Sumobito di Kabupaten Jombang.  Kawasan ini berada pada luas 10 X 10 kilometer persegi.

Versi lain yang menyebut 9 X 11 kilometer persegi. Pusat kota ini berada  di dalam kawasan ibukota dan lokasinya kini berada di Trowulan.  Situs-situs yang memperkuat ilustrasi pusat kota ini antara lain Candi  Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, tempat kediaman Gajah Mada,  kediaman kerabat kaum raja dan tempat pemandian para putri kerajaan. Rakeyan  Jayadarma adalah raja ke-26 Kerajaan Sunda Galuh, anak dari Prabu Guru  Dharmadiksa, raja ke-25 dari Kerajaan Sunda Galuh. Setelah Rakeyan  Jayadarma tewas diracun oleh salah seorang bawahannya, Dyah Lembu Tal  kembali ke Singhasari bersama Raden Wijaya.

Dalam Babad Tanah Jawi,  Raden Wijaya disebut sebagai Jaka Susuruh dari Pajajaran. Ia dibesarkan  di lingkungan kerajaan Singhasari. Kakawin Nagarakretagama mencatat Raden Wijaya  memperistri empat orang putri raja Kertanegara :Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari. Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā.Śri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnyāparamitā Sri Rājendradewi Dyah Dewi Gayatri.   Śri Parameśwari Dyah Dewi Tribhūwaneśwari: Sri  Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari adalah permaisuri Raden Wijaya. Dalam Nagarakretagama Tribhuwaneswari sering disingkat Tribhuwana saja.  Ia putri sulung Kertanagara raja terakhir Singhasari. Dikisahkan  pada saat Singhasari runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang tahun  1292, Raden Wijaya hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari, sedangkan  Gayatri ditawan musuh. Rombongan Raden Wijaya menyeberang ke  Sumenep meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan menuju  Sumenep, Tribhuwaneswari sering dibantu oleh Lembu Sora, abdi setia  Raden Wijaya Raden Wijaya. Jika pasangan suami istri tersebut letih,  Lembu Sora menyediakan perutnya sebagai alas duduk. Jika menyeberang  rawa-rawa Lembu Sora, menyediakan diri menggendong Tribhuwana. Raden  Wijaya kemudian bersekutu dengan Arya Wiraraja untuk menjatuhkan  Jayakatwang. Ketika Raden Wijaya berangkat ke Kadiri pura-pura menyerah  pada Jayakatwang, Tribhuwana ditinggal di Sumenep. Baru setelah Raden  Wijaya mendapatkan hutan Terik untuk dibuka menjadi desa Majapahit ,  Tribhuwana datang dengan diantar Ranggalawe putra Arya Wiraraja. Berita  ini terdapat dalam Kidung Panji Wijayakarama. Sepeninggal pasukan  Mongol tahun 1293, Kerajaan Majapahit didirikan Raden Wijaya  sebagai raja pertama. Tribhuwana menjadi permaisuri utama selaras gelar Tribhuwana-iswari. Namun Pararaton menyebut bahwa ada istri Raden Wijaya yang dituakan di istana  bernama Dara Petak putri dari Kerajaan Dharmasraya, yang melahirkan  Jayanagara sang putra Mahkota. Menurut prasasti Kertarajasa (1305),  Tribhuwaneswari disebut sebagai ibu Jayanagara, maka Jayanagara adalah anak kandung Dara  Petak yang kemudian menjadi anak angkat Tribhuwaneswari sang permaisuri  utama. Hal ini menyebabkan Jayanagara mendapat hak atas takhta sehingga  kemudian menjadi raja kedua Majapahit tahun 1309-132.  Setelah Wafat Tribhuwaneswari dimuliakan di Candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.  Śri Mahādewi Dyah Dewi Narendraduhitā: Sri  Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, atau disebut dengan Narendraduhita,  adalah putri ketiga dari Raja Singhasari Kertanagara, dan merupakan  istri kedua dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, namun tidak memberikan  keturunan.  Sri Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita: Sri  Jayendra Dyah Dewi Prajña Paramita atau sering disingkat dengan nama  Prajña Paramita atau Pradnya Paramita adalah putri keempat dari Raja  Kertanegara dan merupakan istri ketiga dari Raden Wijaya, namun tidak  memberikan keturunan. Disebutkan bahwa Pradjnya Paramita adalah istri  yang paling setia diantara kelima istri Raden Wijaya Gayatri  atau Rajapatni adalah istri ke empat dari Raden Wijaya, dari Gayatri  lahir Tribhuwanatunggadewi dan Rajadewi. Tribhuwanatunggadewi inilah menurunkan raja-raja Majapahit selanjutnya.

Pada saat  Singhasari runtuh akibat serangan Jayakatwang tahun 1292, Raden Wijaya  hanya sempat menyelamatkan Tribhuwaneswari saja, sedangkan Gayatri  ditawan musuh di Kadiri. Setelah Raden Wijaya pura-pura menyerah pada  Jayakatwang, baru ia bisa bertemu Gayatri kembali. Nagarakretagama pupuh 2/1 menguraikan bahwa putri Gayatri (Rajapatni)  wafat tahun 1350 pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. 12  tahun setelah meninggalnya Gayatri dilaksanakan upacara srada dan  dimuliakan candi di candi Boyolangu di desa Kamal Pandak tahun 1362  dengan nama Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya  diberkati oleh pendeta Jnyanawidi. Dara Pethak (Indreswari): Menurut  Pararaton, sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak  Majapahit, datang pasukan Kebo Anabrang yang pada tahun 1275 dikirim  Kertanegara menaklukkan Pulau Sumatra. Pasukan tersebut membawa dua  orang putri Mauliwarmadewa dari Kerajaan Dharmasraya bernama Dara Jingga  dan Dara Petak sebagai persembahan untuk Kertanegara. Nama Dara  Pethak berarti merpati putih. Menurut Kronik Cina, pasukan Mongol yang  dipimpin Ike Mese meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, sehingga  dapat diperkirakan pertemuan antara Raden Wijaya dan Dara Petak terjadi  tanggal 4 Mei 1293. Karena Kertanegara sudah meninggal, maka ahli  warisnya, yaitu Raden Wijaya mengambil Dara Petak sebagai istri, sedang  Dara Jingga diserahkan kepada Adwayabrahma , seorang pejabat Singhasari  yang dulu dikirim ke Sumatra tahun 1286. Dara Petak pandai  mengambil hati Raden Wijaya sehingga ia dijadikan sebagai Istri tinuheng  pura, atau istri yang dituakan di istana. Padahal menurut  Nagarakretagama, Raden Wijaya sudah memiliki empat orang istri, dan  semuanya adalah putri Kertanegara. Pengangkatan Dara Petak sebagai istri  tertua mungkin karena hanya dirinya saja yang melahirkan anak  laki-laki, yaitu Jayanegara. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ibu  Jayanegara bernama Indreswari. Nama ini dianggap sebagai gelar resmi  Dara Petak. Pararaton menyebutkan Raden Wijaya hanya menikahi dua  orang putri Kertanagara saja. Pemberitaan tersebut terjadi sebelum  Majapahit berdiri. Diperkirakan, mula-mula Raden Wijaya hanya menikahi  Tribhuwaneswari dan Gayatri saja. Baru setelah Majapahit berdiri, ia  menikahi Mahadewi dan Jayendradewi pula. Dalam Kidung Harsawijaya,  Tribhuwana dan Gayatri masing-masing disebut dengan nama Puspawati dan  Pusparasmi. Masa Pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawardhana: Setelah  Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit, beliau kemudian mengangkat  pengikut-pengikutnya yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Majapahit  menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan menurut Serat Kekancingan  Kadadu 1294 antara lain :Aria Wiraraja menjadi Rakyan  Mahamantri Agung diberi daerah status khusus (Madura) dan diberi wilayah  otonom di Lumajang hingga BlambanganNambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih (Perdana menteri)Ranggalawe menjadi Rakyan Mahamantri Agung diangkat sebagai Adipati TubanSora menjadi patih Daha (Kadiri). Struktur brirokrasi pejabat KerajaanMajapahit pada masa Raja Kertarajasa ( Prasasti Pananggungan 1296 Saka).
1. Mahamantri KatriniRakyan Menteri Hino : Dyah PamasiRakyan Menteri Halu : Dyah Singlar Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Palisir 
2. Sang Panca WilwatikaRakyan Patih Majapahit : Empu TambiRakyan Demung : Empu RentengRakyan Kanuruhan : Empu ElamRakyan Rangga : Empu Sasi Rakyan Tumenggung : Empu Wahan 
3. Patih Negara BawahanRakyan Patih Daha : Empu SoraRakyan Demung Daha : Empu RakatRakyan Rangga Daha : Empu DipaRakyan Tumenggung Daha : Empu Pamor 
4. Pejabat Hukum dan KeagamaanPranaraja menjadi Rakyan Mahamantri AgungDang Acarya Agraja menjadi Dharmadyaksa Kasaiwan Dang Acarya Ginantaka menjadi Dharmadyaksa KasogatanPanji Paragata menjadi Pemegat TirwanDang Acarya Anggaraksa sang Pemegat di Pamotan Dang Acarya Rudra sang Pemegat di Jambi

Raden  Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman,  susunan pemerintahannya mirip Singhasari, karena Majapahit adalah 'EMBRIO' SINGASARI - namun ditambah 2 (dua) menteri yaitu  rakryan Rangga dan rakryan Tumenggung. Sedangkan Wiraraja yang banyak  membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di  daerah Lumajang sampai Blambangan. Majapahit merupakan negara  agraris dan sekaligus negara perdagangan. Majapahit memiliki pejabat  sendiri untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di  ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di  Jawa. Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan  pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki  kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada  pejabat-pejabat di bawahnya, antara lainRakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra rajaRakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahanDharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaanDharmma-upapatti, para pejabat keagamaan Kabinet Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting  yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat  dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut  melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula  semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara  raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu. Dharmaputra adalah suatu  jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya Anggotanya berjumlah tujuh  orang, yaitu Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak,  dan Ra Pangsa, yang semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa  pemerintahan Jayanegara (raja kedua Majapahit). Namun Tidak diketahui  dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya  mengatakan kalau para anggota Dharmaputra disebut sebagai pengalasan  wineh suka, yang artinya pegawai istimewa. Dikisahkan mereka diangkat  oleh Taden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun  1328.

Para Pejabat Majapahit masing  masing diberi gelar sesuai jabatan yang diembannya -Golongan RakyanMahamantri KatriniRakryan Mahamantri Hino,Rakryan Mahamantri SirikanRakryan Mahamantri halu Pasangguhan/ hulubalang yang terdiri dari 2 yaitu Pranaraja dan Nayapati.Sang Panca Wilwatika lima pembesar yang diserahi tugas untuk  menjalankan pemerintahan Majapahit:Patih Amangkubumi,Patih Demung,Patih Kanuruhan,Patih Rangga danPatih Tumengggung. Juru Pangalasan yaitu pembesar wilayah mancanagara.Narapati Negara Negara bawahan. Golongan  Arya: kedudukan lebih rendah dari Rakyan,  namun jasa jasanya seorang dihormati dengan gelar Wreddhamantri atau Menteri Sepuh. Dang Acarya diperuntukkan bagi para pendera Siwa dan Budha bergelar Dharmmaddyaksa atau hakim tinggi. Pembagian wilayah: Di  bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut  Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat  raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan,   upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Prasasti Wingun Pitu (1447 M) menyebut bahwa pemerintahan Majapahit  dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang  bergelar Bhre:1. Daha2. Jagaraga3. Keling4. Kabalan5. Kahuripan6. Matahun7. Kembang jenar8. Tumapel9. Wirabumi10. Kelinggapura11. Tanjungpura12. Singhapura13. Pajang14. Wengker Peristiwa penting yang terjadi dalam masa pemerintahan Raden Wijaya/ Sri Rajasa Jayawarhana: Piagam Kudadu disebutkan bagaimana watak Raden Wijaya sebagai panglima  perang yang menunaikan tugas dari Raja Kertanagara.
Dalam pengabdiannya  ia menunjukkan kedisiplinan serta kesetian kepada perintah yang  diberikan dan menunaikan tugas tiada tercela. Demikian pula terhadap  teman teman seperjuangannya Raden wijaya memberikan kedudukan yang  tinggi kepada para pengikutnya sesuai dengan jasa yang selama masa  perjuangan. Namun rasa keadilan bagi masing – masing orang berbeda beda. 

Setelah Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja timbullah rentetan  ketiadakpuasan diantara pengikut pengikutnya.Peristiwa Ranggalawe ( 1295 ): Ranggalawe  / Rakryan Mantri Dwipantara Arya Adikara./ Arya Adikara adalah salah  satu pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam perjuangan  mendirikan Majapahit, namun meninggal sebagai pemberontak pertama pada  tahun 1295. Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut  Ranggalawe sebagai putra Arya Wiraraja bupati Sumenep. Ia sendiri  tinggal di Tanjung, yang terletak di Madura sebelah barat. Pertemuan  pertama dengan Raden Wijaya terjadi ketika Ranggalawe diutus oleh  ayahnya yaitu Arya Wiraraja yang menjabat sebagai Bupati Madura untuk  mengantar Tribhuwaneswari dari Sumenep ke Majapahit bersama Banyak Kapuk  dan Mahesa Pawagal utusan Raden Wijaya . Ranggalawe mempunyai watak  yang agak grasa grusu, bicaranya lantang namun mempunyai kelebihan dalam  hal menyusun siasat perang dan dalam pertempuran ia adalah seorang  pemberani dan ahli menggunakan senjata. Namun dibalik sifatnya  yang kasar, Ranggalawe adalah seseorang yang berani, jujur dan mempunyai  tekat besar yaitu berani mempertaruhkan jiwanya untuk membela Raden  Wijaya Ranggalawe kemudian membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik  menjadi desa Majapahit. Nama Ranggalawe sendiri merupakan pemberian  Raden Wijaya. Lawe merupakan sinonim dari Wenang, yang berarti benang,  atau juga berarti kekuasaan. Maksudnya ialah, Ranggalawe diberi  kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.  Selain itu Ranggalawe juga menyediakan 27 ekor kuda dari Bima sebagai  kendaraan perang Raden Wijaya dan para pembantunya untuk menghadapi  Jayakatwang di Kadiri. Penyerangan ke Kadiri terjadi tahun 1293,  Ranggalawe berada dalam gabungan pasukan Majapahit dan Mongol yang  menggempur benteng timur kota Kadiri. Pemimpin benteng bernama Sagara  Winotan, mati dipenggal Ranggalawe. Setelah Kadiri runtuh, Raden  Wijaya menjadi raja pertama Majapahit. Menurut Kidung Ranggalawe, atas  jasa-jasanya, Ranggalawe diangkat sebagai bupati Tuban yang merupakan  pelabuhan utama Jawa Timur saat itu. Prasasti Kudadu (1294) yang memuat  daftar nama para pejabat awal Majapahit, ternyata tidak mencantumkan  nama Ranggalawe. Yang ada ialah nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja.  Menurut Pararaton, Arya Adikara adalah nama lain Arya Wiraraja. Namun  Prasasti Kudadu menyebutkan dengan jelas bahwa keduanya adalah nama dua  orang yang berbeda. Slamet Muljana dalam bukunya, Menuju Puncak  Kemegahan (1965), mengidentifikasi nama Arya Adikara sebagai nama lain  Ranggalawe. Dalam tradisi Jawa ada istilah nunggak semi, yaitu nama ayah  dipakai anak. Jadi, nama Arya Adikara yang merupakan nama lain Arya  Wiraraja, kemudian dipakai sebagai nama gelar Ranggalawe ketika diangkat  sebagai pejabat Majapahit. Dalam Prasasti Kudadu, ayah dan anak  tersebut menjabat sebagai pasangguhan. Masing-masing bergelar Rakryan  Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Dwipantara Arya  Adikara. Kisah pemberontakan Ranggalawe yang merupakan perang  saudara pertama di Majapahit disebutkan dalam Pararaton terjadi tahun  1295, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Ranggalawe. Pemberontakan  itu dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe atas pengangkatan Nambi  sebagai rakryan patih Majapahit. Menurut Ranggalawe, jabatan patih  sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh lebih cakap  dan berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi. Ranggalawe juga  mendapat hasutan dari tokoh licik bernama Mahapati sehingga ia nekad  menghadap Raden Wijaya di ibu kota menuntut penggantian Nambi oleh Lembu  Sora, namun Lembu Sora justru tetap mendukung Nambi. Setelah  menghina dan merendahkan nama Nambi dihadapan Raden Wijaya akhirnya  Ranggalawe menantang Nambi untuk mengadu senjata, mendengar tantangan  tersebut Nambi menjadi marah sehingga pertengkaran mulutpun tak  terhindarkan diantara kedua belah pihak. Semua menteri yang hadir  termasuk Kebo Anabrang (Panglima pasukan Singhasari dalam Ekspedisi  Pamalayu) tidak bisa menyembunyikan kemarahan akibat perbuatan  Ranggalawe yang dianggap melanggar tata krama di hadapan Sang Prabu  Kertarajasa (Raden Wijaya) dan menantang untuk mengadu senjata. Karena  tuntutannya tidak dihiraukan, Ranggalawe kemudian membuat kekacauan di  halaman istana. Lembu Sora sebagai pamannya keluar menasihati Ranggalawe  yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada Raja.  Ranggalawe mengakui kesalahannya bahwa ia telah berbuat terlalu lancang  dan sebagai hukumannnya ia minta untuk dibunuh saja. Sora tidak memenuhi  permintaan keponakannya dan menasehatinya untuk mengingat segala  kebaikan Prabu Kertarajasa dimana Ranggalawe diberikan kebebasan untuk  keluar masuk Istana siang maupun malam. Mendengar nasehat tersebut  akhirnya Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Mahapati kemudian  ganti menghasut Nambi dengan mengatakan kalau Ranggalawe sedang menyusun  pemberontakan. Maka berangkatlah Nambi atas izin raja, memimpin pasukan  menyerang Tuban. Dalam pasukan itu ikut serta Lembu Sora dan Kebo  Anabrang. Dalam Kidung Ranggalawe diketahui bahwa Arya Wiraraja yang  merupakan ayah dari Ranggalawe menetap di Tuban, ketika mendengar  putranya telah pulang dari Majapahit ia langsung menemuinya. Dari  tingkah laku putranya Arya Wiraraja menangkap sesuatu yang tidak baik  akan terjadi kepada anaknya. Arya Wiraraja kemudian menanyakan apa yang  telah terjadi ketika menghadap sang Prabu. Ketika mendengar penjelasan  yang disampaikan putranya, Arya Wiraraja terdiam dan hatinya makewuh  mana yang harus dipilih cinta kepada anak atau setia kepada Sang Prabu. Arya  Wiraraja kemudian menasehati anaknya untuk tetap setia kepada sang  prabu karena berkhianat akan mempunyai akibat yang sangat berat baik  diakhirat maupun dalam kelahiran kembali. Mendengar nasehat ayahnya  Ranggalawe terdiam dan mengakui kesalahannya, namun darah kesatria yang  mengalir dalam dirinya mengharamkan bagi dirinya untuk mundur dan  keperwirayudaan tersebut akan dipertahankan sampai mati. Setelah  Nasehatnya tidak didengar oleh putranya, Arya Wiraraja kemudian  memanggil para Menteri, Kepala desa, Akuwu dan Demang untuk  mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Majapahit. Mereka  mengharapkan agar Nambilah yang nantinya memimpin pasukan dari Majapahit  karena Nambilah orang yang paling mereka cari.

Para pengikut  Ranggalawe didaerah Majapahit kemudian meninggalkan daerahnya menuju  daerah Tuban, namun ketika mereka hendak menyeberangi sungai Tambak  beras, air sungai sedang pasang sehingga mereka dapat disusul oleh  pasukan dari Majapahit dibawah pimpinan Nambi. Mereka semua akhirnya  dapat dihancurkan oleh Pasukan dari majapahit. Hari hari  berikutnya pagi pagi sekali pasukan dari Majapahit menyeberangi sungai  Tambak Beras untuk mencapai Tuban. Mantri Gagarangan dan Tambak Baya  dari Tuban memberitahukan kepada Ranggalawe bahwa pasukan Majapahit  telah tiba dan segera Ranggalawe memerintahkan pasukannya untuk  menyerang pasukan dari majapahit. Mendengar datangnya serangan,  Ranggalawe segera mempersiapkan pasukannya. Kidung Ranggalawe  menyebutkan nama istri Ranggalawe adalah Martaraga dan Tirtawati.  Mertuanya adalah gurunya sendiri, bernama Ki Ajar Pelandongan. Dari  Martaraga lahir seorang putra bernama Kuda Anjampiani. Ranggalawe  kemudian mohon pamit kepada istrinya untuk menghadapi pasukan dari  Majapahit. Martaraga berusaha mencegah kepergian suaminya karena  mempunyai firasat bahwa sesuatu yang tidak baik akan menimpa suaminya.  Oleh mertuanya sendiri yaitu Ki Ajar Pelandongan, Ranggalawe juga  dibujuk agar mengurungkan niatnya untuk maju kemedan pertempuran namun  sekali lagi bujukan tersebut tidak dihiraukan oleh Ranggalawe. Ranggalawe  kemudian terjun ke medan pertempuran melawan pasukan dari Majapahit, ia  bertemu dengan orang yang diharap harapkan yaitu Patih Nambi. Patih  Nambi mengendarai kuda Brahma Cikur sedangkan Ranggalawe mengendai kuda  Mega Lamat. Pertempuran kedua orang tersebut berjalan dengan hebatnya.  Akhirnya kuda Brahma Cikur berhasil ditikam oleh Ranggalawe namun Patih  Nambi berhasil mengelak dan lari menyelamatkan diri kearah selatan.  Ranggalawe bersama pasukannya kemudian melakukan pengejaran sampai di  sungai Tambak Beras. Ranggalawe berniat untuk menyeberangi sungai  Tambak beras namun ditahan oleh para pengikutnya karena daerah  diseberang sungai adalah wilayah Majapahit, lagi pula belum semua  kekuatan tentara Majapahit dikerahkan ke medan perang, Ranggalawe  akhirnya menurut. Pertempuran antara pasukan Majapahit dibawah Pimpinan  Nambi dengan pasukan Ranggalawe terjadi didaerah Tosan, Kidang Glatik,  Siddi, Cek Muringgang dan klabang curing berakhir sampai malam hari.

Berita  kekalahan pasukan dari Majapahit kemudian disampaikan Hangsa Terik ke  hadapan Raden Wijaya. Betapa kecewanya Raden Wijaya mendengar kabar  tersebut dan bersumpah akan membumihanguskan Kota Majapahit jika tidak  berhasil mengalahkan Ranggalawe. Segera beliau mengirim Kala Angerak,  Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru Prakasa untuk memulihkan kembali  kekuatan pasukan dari Majapahit yang telah tercerai berai dan  menyelidiki sampai dimana kekuatan musuh. Sementara keberangkatan  10.000 pasukan tambahan dari Majapahit telah dipersiapkan dipimpin  sendiri oleh Prabu Kertarajasa, beliau mendapat laporan dari 4 orang  mata mata yang dikirim ke medan pertempuran tentang kekuatan pasukan  dari Ranggalawe. Akhirnya pertempuran pasukan tambahan yang dipimpin  oleh Prabu kertarajasa dengan pasukan dari Ranggalawe berkobar kembali,  pertempuran berjalan dengan sengit dimana korban berjatuhan diantara  dikedua belah pihak. Sementara itu untuk menghindari makin banyaknya  korban yang berjatuhan , Sora minta ijin kepada Prabu Kertarajasa untuk  menghadapi Ranggalawe. Prabu Kertarajasa mengijinkan, akhirnya  Ranggalawe dikepung dari tiga arah yaitu Kebo Anabrang dari arah timur,  Gagak Sarkara dari arah barat dan Majang Mekar dari arah utara Perkelahian  sengit kemudian terjadi dari arah timur dimana kebo Anabrang terlibat  pertempuran dengan Ranggalawe. Kuda tunggangan kebo Anabrang berhasil  dilumpuhkan oleh Ranggalawe namun penunggannya berhasil menyelamatkan  diri.

Hari selanjutnya untuk kedua kalinya kembali Kebo Anabrang  terlibat pertempuran dengan Ranggalawe. Pertempuran ini terjadi di  seberang sungai Tambak Beras. Pertempuran berjalan dengan hebatnya  dimana masing masing kedua belah pihak mengeluarkan ilmu kesaktiannya  untuk melumpuhkan lawannya. Pertempuran kemudian dilanjutkan di dalam  air dimana Ranggalawe berhasil mendesak kebo anabrang sampai ketengah  sungai namun dengan sigap berhasil menikam kuda tunggangan Ranggalawe. Didalam  kidung Ranggalawe dikisahkan bahwa ikan ikan berlompatan dan air  muncrat bagaikan hujan akibat perang tanding diantara kedua tokoh  tersebut. Mereka bergulat, saling banting didalam air berusaha  menenggelamkan lawannya. Sampai akhirnya Ranggalawe terpeleset dari batu  tempat berpijaknya sehingga hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh  Kebo Anabrang untuk menenggelamkannya di dalam air. Kepalanya terpiting  dibawah ketiak Kebo Anabrang. Ranggalawe kehabisan napas dan mati lemas. Melihat  keponakannya mati ditangan Kobo Anabrang secara mengenaskan hati Sora  menjadi panas sehingga dengan serta merta melompat ke dalam sungai untuk  menikam Kebo Anabrang dengan keris dari belakang. Keris tersebut tembus  sampai ke dada, mayat Kebo Anabrang kemudian mengapung diatas sungai.  Pembunuhan terhadap rekan sepasukan inilah yang kelak menjadi penyebab  kematian Lembu Sora tahun 1300. Demikianlah akhir hidup Ranggalawe dan  Kebo Anabrang yang sama sama tewas di sungai Tambak Beras. Jenasah  Ranggalawe dan Kebo Anabrang kemudian dibawa ke Majapahit untuk  diupacarakan secara terhormat , mengingat jasa besar kedua tokoh  tersebut. Ranggalawe adalah seorang pahlawan pemberani yang siap  mengorbankan seluruh jiwa raganya pada masa awal pembentukan Majapahit,  sedangkan Kebo Anabrang adalah Panglima pasukan Singhasari yang sukses  menaklukkan Melayu pada jaman pemerintahan Prabu Kertanagara yang  terkenal dengan Ekspedisi Pamalayu Tahun 1275. Kisah pemberontakan  Ranggalawe tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Hal itu dapat  dimaklumi mengingat Nagarakretagama merupakan kitab pujian tentang  kebesaran Majapahit. Ranggalawe terkenal sebagai pahlawan, sehingga  diperkirakan Mpu Prapanca tidak tega mengisahkan kematiannya sebagai  pemberontak. Ranggalawe gugur tahun 1295, Arya  Wiraraja merasa sakit hati dan memutuskan untuk menghadap Prabu  Kertarajasa untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menagih sang  prabu semasa perjuangan, yaitu membagi wilayah kerajaan menjadi dua.  Janji tersebut kemudian dipenuhi oleh Prabu kertarajasa sehingga  kemudian memutuskan membagi wilayah kerajaan menjadi dua : Bagian Timur terus keselatan sampai pantai diserahkan kepada Arya Wiraraja kemudian menjadi raja dengan ibukota Lumajang dan Bagian Barat masih dikuasai oleh Raja Kertarajasa dengan Ibukota Majapahit. KADATON WETAN

Majapahit timur merupakan Negara merdeka dan lepas  dari kekuasaan Majapahit. Karena itu bagi masyarakat Tuban, tokoh Ronggolawe  bukanlah pemberontak, tetapi pahlawan keadilan. Sikapnya memprotes  pengangkatan Nambi, karena figur Nambi kurang tepat memangku jabatan  setinggi itu. Nambi tidak begitu besar jasanya terhadap Majapahit. Masih  banyak orang lain yang lebih tepat seperti Lembu Sora, Dyah Singlar,  Arya Adikara, dan tentunya dirinya sendiri. Ronggolawe layak menganggap  dirinya pantas memangku jabatan itu. Anak Bupati Sumenep Arya Wiraraja  ini besar jasanya terhadap Majapahit. Ayahnya yang melindungi  Kertarajasa Jayawardhana ketika melarikan diri dari kejaran Jayakatwang  setelah Kerajaan Singsari jatuh (Kertarajasa adalah menantu Kertanegara,  Raja Singasari terakhir). Ronggolawe ikut membuka Hutan Tarik  yang kelak menjadi Kerajaan Majapahit. Dia juga ikut mengusir pasukan  Tartar maupun menumpas pasukan Jayakatwang. Bagi masyarakat Tuban,  Ronggolawe adalah korban konspirasi politik tingkat tinggi. Penyusun  skenario sekaligus sutradara konspirasi politik itu adalah Mahapati,  seorang pembesar yang berambisi menjadi patih amangkubumiPeristiwa Ken Sora/ Andaka Sora: Lembu  Sora atau Mpu Sora atau Ken Sora atau Andaka Sora adalah salah satu  pengikut Raden Wijaya yang berjasa besar dalam berdirinya Kerajaan  Majapahit, namun mati sebagai pemberontak pada tahun 1300. Peristiwa  sejarah ini terdapat dalam Kidung Sorandaka artinya Andaka Sora atau  Lembu Sora. Pararaton menyebut Sora sebagai abdi Raden Wijaya  yang paling setia. Ia mengawal Raden Wijaya saat menghindari kejaran  pasukan Jayakatwang tahun 1292, di mana ia menyediakan punggungnya  sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya saat beristirahat, serta  menggendong istri Raden Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa. Pada  tahun 1293 Raden Wijaya dibantu pasukan Mongol menyerang Jayakatwang di  Kadiri. Dalam perang itu, Sora menggempur benteng selatan dan berhasil  membunuh Patih Kadiri Kebo Mundarang. Menurut Pararaton, setelah  kemenangan tersebut, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit. Lembu  Sora diangkat sebagai Rakryan Patih Daha, atau patih bawahan di Kadiri.  Keputusan tersebut memicu pemberontakan Ranggalawe tahun 1295. Menurut  Ranggalawe, Lembu Sora lebih pantas menjabat sebagai Rakryan Patih  Majapahit dari pada Nambi. Meskipun Ranggalawe adalah keponakan Sora,  namun Sora justru mendukung Raden Wijaya supaya tetap mempertahankan  Nambi sebagai patih Majapahit. Dalam peristiwe pemberontakan  Ranggalawe, Sora bertindak sebagai penasehat raja, dimana Sora  memberikan nasehat kepada raja agar jangan sekali kali menuruti apa  kemauan Ranggalawe serta dalam pertempuran bertindak sebagai senapati  yang memberikan perintah untuk mengepung Ranggalawe dari 3 arah. Siasat  ini berhasil pemberontakan Ranggalawe dapat dipadamkan.  Berdasarkan fakta tersebut sudah sepantasnya Sora menjadi abdi  kesayangan Raden Wijaya dan menduduki posisi yang terhormat dalam masa  pemerintahan Raden Wijaya. Namun dalam perjalanan hidupnya selalu ada  rintangan, ada yang iri hati dengan mengungkapkan segala kekurangan yang  ia miliki kehadapan sang prabu. Sebagai mana yang kita ketahui  bahwa Mahapati sebagai Menteri mempunyai ambisi yang sangat besar untuk  menduduki posisi sebagai Patih Amangkubumi Majapahit, Pada saat itu yang  menduduki posisi tersebut adalah patih Nambi, namun untuk mencari  kesalahan yang mengakibatkan jatuhnya kedudukan Nambi belum berhasil.  Salah seorang tokoh yang mempunyai hubungan erat dengan sang Prabu dan  berpengaruh besar yaitu Sora. Andaikata Nambi jatuh maka calon utama  penggantinya pastilah Lembu Sora. Demikianlah menurut rencananya  Lembu Sora harus disingkirkan terlebih dahulu, untuk tujuan tersebut ia  memperoleh tuduhan yang jitu yaitu pembunuhan Kebo Anabrang yang  merupakan rekan sepasukan dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe.  Sebelum menjalankan siasatnya Mahapati berusaha bersahabat dengan para  Menteri lainnya sehingga ia dapat menjadi orang kepercayaan sang Prabu  Kertarajasa. Pembunuhan terhadap rekan sepasukan tersebut baru  diungkit tahun 1300. Mahapati menghadap Raden Wijaya dan menceritakan  bahwa para Menteri tidak puas dengan sikap sang Prabu terhadap Lembu  Sora. Ketidakpuasan tersebut semakin meningkat karena seolah olah sang  prabu membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang. Rupanya  keluarga Kebo Anabrang segan menuntut hukuman karena Sora adalah abdi  kesayangan Raden Wijaya. Suasana itu dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang  tokoh licik yang mengincar jabatan patih. Ia menghasut putra Kebo  Anabrang yang bernama Mahisa Taruna supaya berani menuntut Sora. Ia juga  menghasut Raden Wijaya bahwa para menteri resah karena raja seolah-olah  melindungi kesalahan Sora. Raden Wijaya tersinggung dituduh  tidak adil. Ia pun memberhentikan Lembu Sora dari jabatannya untuk  menunggu keputusan selanjutnya. Mahapati pura pura mencegah tindakan  sang Prabu yang serta merta tersebut dan memberi nasehat agar sang prabu  mencari kesempatan yang baik untuk menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati  mengusulkan agar Lembu Sora jangan dihukum mati mengingat jasa-jasanya  yang sangat besar. Raden Wijaya memutuskan bahwa Sora akan dihukum buang  ke Tulembang. Yakinlah Mahapati bahwa sekaranglah saatnya untuk  menyingkirkan Lembu Sora. Mahapati menemui Sora di rumahnya untuk  menyampaikan keputusan raja. Sora sedih atas keputusan itu. Ia berniat  ke ibu kota meminta hukuman mati dari pada harus diusir dari tanah  airnya. Mahapati kemudian menghasut Nambi bahwa sang prabu telah  mengambil keputusan untuk membebaskan Sora dari Tugasnya dan  menggantinya dengan Mahesa Taruna (anak dari Kebo Anabrang). Terpikat  oleh uraian yang disampaikan Mahapati, Patih Nambi kemudian menyiapkan  orang orangnya untuk menghadap sang Prabu. Dengan tegas dikemukakannnya  bahwa Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara licik dan  kejam harus mendapat hukuman yang setimpal, juga para menteri yang  terkena hasutan Mahapati sepakat bahwa Lembu Sora harus mendapat hukuman  akibat dari perbuatannya. Mahapati yang pandai menjalankan  peranannya sekali lagi mengunjungi kediaman Lembu sora, dikatakannya  bahwa ia telah berusaha keras untuk mencegah hukuman tersebut namun  tidak berhasil, lagipula Nambi telah menyiapkan pasukannya. Sementara  itu telah diputuskan mengingat jasa jasanya, Lembu Sora tidak akan  dijatuhi hukuman mati tetapi di hukum buang ke Tulembang. Keputusan  tersebut disampaikan langsung utusan Prabu kertarajasa dari Majapahit.  Sora menolak keputusan tersebut, ia lebih baik mati daripada harus  dihukum buang. Raja Kertarajasa masih cukup sabar menerima keputusan  Nambi tersebut dan menyesalkan konflik yang telah terjadi antara dirinya  dengan Lembu Sora yang merupakan abdi kesayangannya.. Mahapati  pura pura membela Sora dan mengusulkan agar sang Prabu memberikan  peringatan secara tertulis kepada Sora dan menunggu jawabannya. Segera  Sang prabu mengutus Mahapati untuk menyampaikan surat tersebut langsung  kepada Lembu Sora yang isinya bahwa menurut kitab Undang undang  Kutaramanawa , Sora harus dihukum mati, namun dibebaskan dari hukuman  tersebut dan sebagai gantinya ia akan di pindahkan ke Tulembang.  Kutaramanawa yaitu kitab perundang undangan pada jaman Majapahit yang  isinya menekankan susunan masyarakat yang terdiri dari empat warna demi  kebaikan masyarakat. Kitab tersebut sekarang disimpan di Leiden Belanda. Setelah  membaca surat tersebut, Lembu Sora kemudian menyampaikan jawabannya  bahwa ia masih menaruh cinta bakti kepada sang prabu dan akan  menyerahkan jiwa dan raganya ke hadapan sang Prabu. Ia tidak akan  membantah sekalipun akan diserahkan kepada Kebo Taruna. Lembu Sora  merencanakan untuk menghadap langsung ke hadapan sang prabu. Mahapati  yang mengingikan kematian Lembu Sora belum puas akan penyerahan jiwa  raga yang disampaikan oleh Lembu Sora melaporkan kepada sang Prabu bahwa  Lembu Sora tidak menerima keputusan tersebut dan akan datang untuk  membuat kekacauan karena tidak puas atas hukuman raja. Setelah  mendesak raja, Nambi pun diizinkan menghadang Sora yang datang bersama  Gajah Biru dan Juru Demung. Maka terjadilah peristiwa di mana Sora dan  kedua sahabatnya mati dikeroyok tentara Majapahit. Siasat Mahapati. Kematian Sora pada tahun 1300 diceritakan singkat dalam  Pararaton, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Berbeda  dengan kisah dalam Kidung Sorandaka di atas, Pararaton menyebut  kematian Juru Demung terjadi pada tahun 1313, sedangkan Gajah Biru pada  tahun 1314. Keduanya tewas sebagai pemberontak pada pemerintahan  Jayanegara putra Raden Wijaya. Wafatnya Raden WijayaRaden  Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanagara. 

Raden Wijaya  dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam bentuk Jina (Budha) di Antapura  dalam kota Majapahit dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Simping (dekat  Blitar) yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di candi  Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudan nya Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. Masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanagara  banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya  membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh  dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya  dicap sebagai musuh kerajaan. Rd.(Nararyya) Wijaya ing Wilwatikta: Pangeran dari Tatar Sunda.

Oleh Richadiana Kartakusuma
CAG

1 comment:

  1. Haturnuhun kanggo pangersa Ambu Richadiana Kartakusuma....salam silih asih-asah-asuh-silihwangi...Rahayu _/\_

    ReplyDelete