Oleh : Rahwana Dasamuka
Melacak jejak Leluhur Nusantara
Jika mencermati Evolutionary tree of Human Y-chromosome DNA
(Y-DNA) haplogroups, diperkirakan Keluarga Nuh berasal dari Haplogroup IJK,
yang merupakan pangkal percabangan keturunan Sem bin Nuh (Haplogroup IJ) dan
Yafet bin Nuh (Haplogroup K). Dengan demikian keturunan Nabi Adam yang selamat
dari Banjir Nuh, berasal dari 8 komunitas, yakni Haplogroup A, B, C, D, E, G, H
dan IJK.
Setelah terjadinya Bencana Nuh, pada sekitar 13.000 tahun
yang silam (Sumber : Patung Sphinx, Bukti Arkeologis Bencana Nuh 13.000 tahun
yang silam), setidaknya muncul 3 kelompok pengikut Nabi Nuh, yaitu :
- Kelompok Timur, dipimpin Yafet bin Nuh, diperkirakan
mendiami Sundaland (Paparan Sunda). Mereka kebanyakan berasal dari Haplogroup
IJK, dan dari kelompok ini muncul ras baru, yang di-identifikasikan sebagai
Haplogroup K, kemudian berkembang menjadi Haplogroup L, M, NO, P, S dan T.
- Kelompok Tengah, dipimpin Sem bin Nuh, diperkirakan mendiami
Asia Tengah. Mereka berasal dari Haplogroup IJK, G dan H, dari kelompok ini
muncul ras baru, yang di-identifikasikan sebagai Haplogroup IJ, kemudian
berkembang menjadi Haplogroup I dan Haplogroup J.
- Kelompok Barat, dipimpin Ham bin Nuh, diperkirakan
mendiami daratan Afrika. Mereka berasal dari Haplogroup IJK, A, B, C, D, dan E.
Yafet dan Leluhur Nusantara
Untuk dipahami, selepas banjir Nabi Nuh di Nusantara atau
lebih tepatnya di Sundaland, muncul satu komunitas Bani Adam (Kelompok Timur),
yang di-identifikasikan sebagai Haplogroup K atau dalam istilah Plato dikenal
dengan "Peradaban Atlantis".
Komunitas ini, pernah mencapai peradaban yang tinggi selama
ratusan tahun, akan tetapi kemudian hancur diterjang banjir pada sekitar tahun
9.600 SM. Komunitas ini akhirnya berpencar ke segala penjuru bumi. Mereka
kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia Timur, seperti ras Mongoloid dan
Altai (Sumber : Menyoal Asal-usul Identitas Bangsa Melayu).
Setelah situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, sekelompok
kecil dari bangsa Sundaland mulai "pulang kampung". Dan pada
puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500 SM -
1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu (Sumber :
Sejarah Melayu, Teori Sundaland dan Naskah Wangsakerta).
Pada sekitar tahun 300 SM, datang dalam jumlah yang besar
kelompok bangsa dari Asia Selatan (India) dan Asia Tengah, yang dikenali
sebagai Deutero Melayu dan membawa pengaruh budaya Hindustan di Nusantara.
Bangsa-Bangsa di Nusantara, sebagian besar merupakan hasil
pembauran dari 2 komunitas ini, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Mereka
merupakan zuriat (keturunan) dari Yafet bin Nuh (Haplogroup IJK), yang
berkembang menjadi Haplogroup K, kemudian memunculkan ras baru Haplogroup NO.
Dari Haplogroup NO inilah, kemudian muncul bangsa Nusantara (bangsa Austronesia),
yang di dalam Human Y-chromosome DNA (Y-DNA) haplogroups, dikenali sebagai
Haplogroup O1a-M119 (Sumber : Haplogroup O (Y-DNA)).
Menurut Teori Antropologi, Bangsa Melayu berasal dari
percampuran dua bangsa, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu
adalah ras Mongoloid, diperkirakan bermigrasi ke Nusantara sekitar tahun
2500-1500 SM, kemungkinan mereka berasal dari daerah : Provinsi Yunnan
di selatan Cina, New Guinea
atau Kepulauan Taiwan.
Sementara Bangsa Deutero Melayu berasal dari dataran Asia
Tengah dan Selatan, yang datang ke Nusantara pada sekitar tahun 300 SM.
Diperkirakan kedatangan Deutero Melayu membawa pengaruh budaya India yang kuat
dalam sejarah Nusantara dan Asia Tenggara.
Proto Melayu dan Sundaland
Sebagaimana kita pahami bersama, setelah terjadi Peristiwa
Bencana Nabi Nuh pada sekitar tahun 11.000 SM (13.000 tahun yang lalu), semua
peradaban di bumi hancur dan yang tinggal hanya Keluarga Nabi Nuh beserta
pengikutnya.
Sekelompok pengikut Nabi Nuh yang selamat, kemudian
membangun peradaban di kawasan Sundaland. Di kemudian hari, di sekitar
Sundaland menjadi sebuah Pusat Peradaban, yang dikenal sebagai Peradaban
Atlantis.
Pada sekitar tahun 9.600 SM, menurut catatan Plato,
Peradaban Atlantis ini hancur dilanda banjir. Penduduk Atlantis berpencar ke
seluruh penjuru bumi. Mereka kemudian menjadi leluhur bangsa-bangsa di Asia
Timur, seperti ras Mongoloid dan Altai (Sumber : Menyoal Asal-usul Identitas Bangsa
Melayu dan Patung Sphinx, Bukti Arkeologis Bencana Nuh 13.000 tahun yang
silam).
Setelah situasi di Nusantara dirasakan cukup tenang, ada
sekelompok kecil dari bangsa Atlantis yang mulai "pulang kampung".
Dan pada puncaknya, mereka datang dalam jumlah besar, pada sekitar tahun 2.500
SM - 1.500 SM. Mereka ini kemudian dikenal sebagai bangsa Proto Melayu.
Teori Out of Sundaland
Keberadaan Peradaban di Sundaland, dikemukakan Profesor
Aryso Santos dari Brasil, melalui bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally
Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization (2005). Di
dalam bukunya itu, Profesor Santos menyatakan, Sundaland adalah benua Atlantis,
yang disebut-sebut Plato di dalam tulisannya Timeus dan Critias.
Sebelumnya pada tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku
berjudul,"Eden in the East :
The Drowned Continent of Southeast Asia". Secara singkat, buku ini
mengajukan tesis bahwa Sundaland pernah menjadi suatu kawasan berbudaya tinggi,
tetapi kemudian tenggelam, dan para penghuninya mengungsi ke mana-mana (out of
Sundaland), yang pada akhirnya menurunkan ras-ras baru di bumi.
Hipotesis ini ia bangun berdasarkan penelitian atas geologi,
arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan
geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan permukaan laut
dengan menyurutnya Zaman Es terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode
14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah menenggelamkan Sundaland. Arkeologi
membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi sebelum banjir
terjadi. Kenaikan permukaan laut ini telah menyebabkan manusia penghuni
Sundaland menyebar ke mana-mana mencari daerah yang tinggi.
Dukungan bagi hipotesis Oppenheimer (1998), datang dari
sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat
Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of
Leeds ini mengumumkan hasil peneltiannya, melalui jurnal berjudul
"Molecular Biology and Evolution" edisi Maret dan Mei 2008, yakni
pada makalah berjudul "Climate Change and Postglacial Human Dispersals in
Southeast Asia" (Soares et al., 2008) dan "New DNA Evidence Overturns
Population Migration Theory in Island Southeast Asia" (Richards et al.,
2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang
teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara (Filipina, Indonesia,
dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun yang lalu. Tim
peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya, bahwa penduduk Taiwan
berasal dari penduduk Sundaland, yang bermigrasi akibat Banjir Besar di
Sundaland.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada
saat yang bersamaan dengan naiknya permukaan laut di wilayah ini, dan juga
menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur (New Guinea dan Pasifik), dan ke barat
(daratan utama Asia Tenggara), terjadi dalam masa sekitar 10.000 tahun yang
lalu.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa
haplogroup E (Note : mungkin yang dimaksud haplogroup O), yang merupakan
komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), secara dramatik
tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar
awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi
laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu komponen ini mencapai Taiwan
dan Oseania, pada sekitar 8.000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global
warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 14.000-7.000 tahun yang lalu,
sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini (Sumber : mail-archive).
Migrasi Deutero Melayu menurut Naskah Wangsakerta
Setelah selama ribuan tahun Bangsa Proto Melayu mendiami
Nusantara. Pada sekitar tahun 300 SM, datang bangsa pendatang, yang dikemudian
hari dikenal dengan nama Deutero Melayu.
Teori Migrasi Deutero Melayu, ternyata bukan berasal dari
Sejarawan Barat (Belanda), seperti NJ. Krom, Eugene Dubois, JG. de Casparis dan
sebagainya, melainkan berasal dari seorang sejarawan Nusantara, yang bernama
Pangeran Wangsakerta, beliau diperkirakan hidup pada pertengahan abad ke-17M.
Melalui Naskah Wangsakerta, beliau menuturkan Silsilah Aki
Tirem (Sesepuh masyarakat Salakanagara, pada abad 1 Masehi), sebagai berikut :
"Aki Tirem putera Ki Srengga putera Nyai Sariti
Warawiri puteri Sang Aki Bajulpakel putera Aki Dungkul putera Ki Pawang Sawer
putera Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang putera Datuk Waling putera Datuk
Banda putera Nesan"
Selanjutnya ia menulis, leluhur Aki Tirem bernama Aki
Bajulpakel berdiam di Swarnabumi (Sumatera) bagian Selatan, kemudian Datuk Pawang
Marga berdiam di Swarnabumi bagian Utara dan Datuk Banda berdiam di
Langkasungka India.
Dari penyelusuran Genealogy di atas, nampak jelas bahwa
jalur migrasi bangsa Deutero Melayu, adalah bermula dari tanah India, lalu
memasuki Nusantara melalui Swarnabumi (Sumatera) dan kemudian menuju ke pulau
Jawa (Sumber : Teori Antropologi "Migrasi Deutero Melayu", ditemukan
Panembahan Tohpati, Sejarawan Nusantara abad ke-17M).
Keragaman leluhur penduduk Nusantara, semakin diperkaya
dengan kehadiran keturunan Nabi Ibrahim, dari Dinasti Pallawa yang dikenal
sebagai Dewawarman I (Sumber : (Connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim
?). Di kemudian hari Dewawarman I menjadi penguasa di Salakanagara, dan menikah
dengan anak Aki Tirem, yang bernama Pohaci Larasati
Menyingkap
misteri Nusantara dari timur tengah
Sampai saat ini banyak ahli Arkeologi bingung, mengapa
Sphinx di Mesir menghadap ke arah barat daya (Southwest).
Padahal sudah kita pahami bersama, berdasarkan penelitian
catatan-catatan mengenai Mesir kuno, melalui gambar-gambar yang terdapat pada
piramid dan sphinx, diketahui bahwa penguasa yang membangun benda-benda itu,
mendewakan Matahari.
Oleh karenanya, apabila kita imaginasikan wajah Sphinx
menghadap ke arah ufuk timur, tempat terbitnya matahari, secara mengejutkan
diperoleh fakta bahwa Mekkah ternyata berada di wilayah kutub utara.
Apa makna semua ini ?
Seorang cendikiawan muslim, ustadz Nazwar Syamsu menduga,
pergeseran posisi menghadap pada Sphinx erat kaitannya dengan bencana maha
dahsyat ribuan tahun yang silam, yang kita kenal sebagai bencana banjir Nuh
(Sumber : Yuwie.Com).
Hal
ini juga didukung oleh informasi Al Qur'an, yang menceritakan posisi Bakkah
(Mekkah), berada di wilayah Utara (QS. Nuh (71) ayat 14), sebelum peristiwa
bencana Nuh (Sumber : Sains dan Dakwah).
Sphinx, adalah patung singa bermuka manusia yang juga
merupakan obyek penting dalam penelitian ilmuwan, tingginya 20 meter, panjang
keseluruhan 73 meter, dianggap didirikan oleh kerajaan Firaun ke-4 yaitu
Khafre.
Namun, melalui bekas yang dimakan karat (erosi) pada
permukaan badan Sphinx, ilmuwan memperkirakan bahwa masa pembuatannya mungkin
lebih awal, paling tidak 10 ribu tahun silam sebelum Masehi.
Seorang sarjana John Washeth juga berpendapat: Bahwa
Piramida raksasa dan tetangga dekatnya yaitu Sphinx, jika dibandingkan dengan
bangunan masa kerajaan ke-4 lainnya, sama sekali berbeda, Sphinx diperkirakan
dibangun di masa yang lebih purba.
Dalam bukunya "Ular Angkasa", John Washeth
mengemukakan: perkembangan budaya Mesir mungkin bukan berasal dari daerah
aliran sungai Nil, melainkan berasal dari budaya yang lebih awal.
Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam "Ilmu Pengetahuan
Kudus" menunjukkan: pada tahun 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai
sebuah budaya yang hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, hal ini bisa
terlihat, pada bagian badan Sphinx yang jelas sekali ada bekas erosi.
Diperkirakan akibat dari banjir dahsyat di tahun 11.000 SM.
Perkiraan erosi lainnya pada Sphinx adalah air hujan dan
angin.
Washeth mengesampingkan dari kemungkinan air hujan, sebab
selama 9.000 tahun di masa lalu dataran tinggi Jazirah, air hujan selalu tidak
mencukupi, dan harus melacak kembali hingga tahun 10.000 SM baru ada cuaca
buruk yang demikian.
Washeth juga mengesampingkan kemungkinan tererosi oleh
angin, karena bangunan batu kapur lainnya pada masa kerajaan ke-4 malah tidak
mengalami erosi yang sama. Dan bisa terlihat, pada tulisan berbentuk gajah dan
prasasti peninggalan kerajaan kuno, dimana tidak ada sepotong batu pun yang
mengalami erosi, separah Sphinx.
Profesor Universitas Boston, dan ahli dari segi batuan erosi
Robert S. juga setuju dengan pandangan Washeth sekaligus menujukkan: Bahwa
erosi yang dialami Sphinx, ada beberapa bagian yang kedalamannya mencapai 2
meter lebih, dan jelas sekali merupakan bekas setelah mengalami tiupan dan
terpaan angin yang hebat selama ribuan tahun.
Washeth dan Robert S. juga menunjukkan: Teknologi bangsa
Mesir kuno tidak mungkin dapat mengukir skala yang sedemikian besar di atas
sebuah batu raksasa, produk seni yang tekniknya rumit.
Jika diamati secara keseluruhan, kita bisa menyimpulkan
secara logis, bahwa pada masa purbakala, di atas tanah Mesir, pernah ada sebuah
budaya yang sangat maju, namun karena adanya pergeseran lempengan bumi, daratan
batu tenggelam di lautan, dan budaya yang sangat purba pada waktu itu akhirnya
disingkirkan, meninggalkan piramida dan Sphinx dengan menggunakan teknologi
bangunan yang sempurna.
Dalam jangka waktu yang panjang di dasar lautan, piramida
raksasa dan Sphinx mengalami rendaman air dan pengikisan dalam waktu yang
panjang.
Temuan ahli arkeologi, berkenaan dengan Sphinx nampaknya
sejalan dengan temuan Geologi, yang memperkirakan pada sekitar masa 11.000 SM,
pernah terjadi banjir global yang melanda bumi. (Sumber : Kapal Nabi Nuh,
Misteri Sejarah Peradaban Manusia ).
Peristiwa banjir global inilah, yang menurut Ustadz H.M. Nur
Abdurrahman, sebagai banjir di era Nabi Nuh. Yang sangat luar biasa, dan
memusnahkan seluruh peradaban ketika itu, dan yang tersisa adalah mereka yang
meyakini Syariat ALLAH, melalui utusan Nya Nabi Nuh SAW.
Pernahkah anda berpikir siapakah nenek moyang kita? Sebagian
besar dari anda pastilah berpikir Adam dan Hawa. Namun pernahkah anda berpikir
bagaimana dari sepasang manusia bisa muncul beragam ras dengan tampilan fisik
yang begitu berbeda?
Tampilan fisik pada dasarnya sudah dikodekan dalam gen (DNA)
kita. Gen dalam tubuh kita terletak dalam inti sel, dalam kromosom, yang
tersusun dari untaian rantai DNA. DNA sendiri tersusun atas urutan pasangan
basa (kode genetik) yang menyimpan semua informasi tentang bagaimana tubuh kita
terbentuk, organ-organ bekerja, hingga tampilan luar tubuh kita.
Kode genetik dalam DNA diintepretasikan dalam ekspresi gen.
Dikenal 2 istilah dalam ekspresi gen, yaitu genotip dan fenotip. Genotip adalah
ekspresi gen yang terkodekan namun tidak muncul ke permukaan, sedangkan fenotip
adalah ekspresi gen yang muncul dan teramati. Contoh dari genotip dan fenotip
bisa dilihat dari penyakit bawaan. 2 orangtua normal bisa memiliki anak dengan
kelainan jantung karena salah satu atau keduanya adalah carrier (pembawa) gen
penyakit tersebut dari garis keluarganya. Dengan demikian, gen kelainan jantung
adalah genotip pada orangtua, namun fenotip pada anak.
Lalu apa hubungannya dengan keragaman manusia? Keragaman
pada manusia (begitu juga pada spesies lain) dapat ditelusuri melalui perbedaan
urutan basa dalam DNA. Ada lebih
dari 2 milyar pasangan basa yang menyusun rantai DNA. Jika rantai DNA yg
terpilin dalam bentuk kromosom itu diurai, maka ia akan membentang sepanjang
1,8 m. Dari sudut pandang genetika, menusia, apapun rasnya adalah >99%
identik, meskipun perbedaan itu hanya 0,00 sekian %, tidak ada gen yang persis
sama.
Perbedaan urutan basa yang ditemukan pada sekelompok
individu dalam suatu spesies disebut dengan 'genetic marker' (penanda gen). 2
individu yang memiliki genetic marker pada posisi yang sama mengindikasikan
hubungan kekerabatan. Dari sinilah kita bisa menelusuri leluhur kita
sesungguhnya dan darimana mereka berasal. Semakin banyak genetic marker khas
yang terdapat dalam suatu ras atau spesies,
makin beragam karakteristik individu penyusunnya.
Keragaman genetik (Genetic diversity) semakin berkurang
dengan adanya migrasi. Ketika sekelompok kecil dari nenek moyang kita
bermigrasi ke daerah baru, pada dasarnya mereka membawa dalam diri mereka
sample yang lebih kecil dari genetic diversity komunitas asal.
Studi menunjukkan bahwa benua Afrika memiliki genetic
diversity tertinggi di muka bumi. Genetic marker dari ras-ras yang ada di
seluruh dunia, baik Eropa maupun Asia, bersumber dari
Afrika. Gen Afrika mengandung genotip yang berpotensi memunculkan ras-ras lain
yang sama sekali berbeda dari mereka. Ketika sebagian dari mereka keluar dari
tempat tinggalnya dan terpapar oleh lingkungan yang baru, maka dalam jangka
waktu tertentu akan timbul mutasi yang akan merubah susunan basa dalam gen,
membuat genotip berubah menjadi fenotip dan membuat mereka rentan terhadap
penyakit tertentu.
Proto Melayu adalah ras Mongoloid yang diperkirakan
bermigrasi ke Nusantara sekitar 2500-1500 SM. Ada beberapa teori Antropologi
yang mempostulatkan daerah asal mereka: Provinsi Yunnan
di selatan Cina, New Guinea
atau kepulauan Taiwan.
Gelombang migrasi kedua mendatangkan bangsa Deutero Melayu dari dataran Asia
Tengah dan Selatan sekitar tahun 300 SM. Diperkirakan kedatangan Deutero Melayu
inilah yang membawa pengaruh India yang kuat dalam sejarah Nusantara dan Asia
Tenggara pada umumnya. Percampuran antara kedua bangsa inilah yang memunculkan
ras melayu modern, ya kita-kita ini. Di samping itu, proto Melayu yang masih
asli hingga kini diyakini menurunkan etnik dengan tampilan fisik yang mirip
mongoloid seperti suku Dayak.
Selama tak kurang dari 100 tahun, teori ini adalah teori
yang berlaku dan tertulis di buku-buku teks sejarah kita. Namun baru-baru ini,
hasil studi yang dipublikasikan oleh konsorsium HUGO (Human Genome Project),
yang beranggotakan 40 research group dari berbagai negara, mungkin harus
membuat buku sejarah kita ditulis ulang. Apa pasal? Pada tahun 2009, melalui
penelitian panjang yang melibatkan sampel gen dari hampir 2000 individu di
Asia, yang dikombinasikan dengan riset antropologi kebudayaan, memunculkan
sebuah konklusi yang mengejutkan: Ras Mongoloid bukanlah nenek moyang kita, namun
sebaliknya, kitalah nenek moyang mereka.
Bagaimana bisa? Bukankah bangsa Cina telah membangun
peradaban maju tak kurang dari 4000 tahun yang lalu? Bukankah populasi bangsa
Cina telah sedemikian besar bahkan sejak jaman dinasti Han 2000 tahun yang lalu?
Edison Liu, dari Genome Institute of Singapore selaku kepala
konsorsium ini menjelaskan, usia suatu komunitas memiliki efek yang lebih besar
kepada genetic diversity daripada ukuran populasi. Walaupun populasi bangsa China
lebih besar, namun genetic diversity-nya, terutama etnis Han yang merupakan
etnis mayoritas China,
lebih rendah daripada etnis-etnis yang
ada di Asia Tenggara. Migrasi ke dataran China "baru" terjadi 20.000
hingga 40.000 tahun yang lalu, diikuti dengan meluasnya budaya bertanam padi ke
seluruh Asia. Dari dataran Cina ini, komunitas yang lebih kecil kemudian
bermigrasi ke Korea
dan Jepang. Menjadikan ras Altai (Korea-Jepang) ras yang relatif paling muda di
Asia.
Hasil studi menunjukkan bahwa proses migasi manusia yang
menghuni benua Asia adalah melalui garis pantai timur
Afrika, semenanjung Arab, Asia Selatan, baru kemudian masuk ke Asia Tenggara
dan Nusantara. Peristiwa ini terjadi sekitar 85.000-75.000 tahun yang lalu.
Dengan demikian, nenek moyang kita berasal dari dataran India,
bukan China.
Hasil riset ini menyusun family tree dari 73 kelompok etnis
di Asia, dan secara mengejutkan, kelompok etnis Asia Tenggara, yaitu Thailand
dan Indonesia, berada di bagian bawah, hanya setingkat di atas etnik India dan
Uyghur. Genetic diversity di Asia Timur (Jepang,
Korea dan China)
dapat ditelusuri dari gen-gen yang ada di Asia Tenggara, terutama suku Mon di
Thailand (yang memiliki gen Dravida, Bengali, Thai, Negrito, Melayu dll). Dari
suku Mon inilah kemudian diturunkan ras Melayu yang tinggal di selatan Thailand,
semenanjung Malaka hingga Nusantara. Jika diperhatikan dalam family tree ,
adalah hal yang menarik bahwa etnis Minang dan Batak ternyata memiliki gen yg
berasal dari dataran India,
sedangkan dalam etnis Jawa dan Sunda, gen tersebut muncul dalam prosentase yang
jauh lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi dari dataran India
masuk melalui semenanjung Malaka, ke pulau Sumatera sebelum akhirnya menyebar
ke seluruh wilayah Nusantara, menyebabkan genetic diversity semakin berkurang
dari pulau Sumatera ke Sulawesi.
Kesimpulan ini mengejutkan sekaligus sulit diterima. Namun
demikian, analisa sample gen ternyata berkorelasi dengan penelitian
Antropologi, dimana didapati bahwa kebudayaan dan bahasa di Asia Tenggara jauh
lebih kompleks dan beragam daripada Asia Timur. Sebagaimana kita tahu, ada
lebih dari 300 kelompok etnis dan lebih dari 700 bahasa di Nusantara. Di
masyarakat kita terdapat berbagai jenis warna kulit dari coklat gelap, sawo
matang hingga kuning langsat. Merujuk pada studi yang dilakukan HUGO,
mungkin saja ribuan tahun lalu,
sekelompok individu dari nenek moyang kita bermigrasi ke utara, menetap di
sana, menikah antar sesamanya (endogamy), dan karena paparan lingkungan yang
jauh berbeda dengan iklim equatorial, memunculkan fenotip yang kita lihat
sebagaimana lazimnya bangsa China modern.
Jika studi ini benar, maka bangsa China yang masuk ke
semenanjung Malaka dan Nusantara di awal masa kolonial pada dasarnya sedang
"pulang kampung" ke tanah nenek moyangnya, dan ungkapan "saudara
tua" yang pernah dilontarkan Jepang di awal invasi ke Indonesia telah
salah kaprah.
Salam saUDARA NusaNtaRA
Ra-Hayu _/\_
No comments:
Post a Comment