1. Tatalegongan/Jemplang
Bangkong
Bangkong
dikongkorong kujang
ka cai kundang
cameti, da kole
kole di buah
hanggasa
ulah ngomong
samemeh leumpang,
da hirup
hirup katungkul
ku pati
paeh teu nyaho di
mangsa
terjemah :
Katak berkangkalung kujang
memasuki air bersandang cemeti, kole
kole pada buah hanggasa
jangan berbicara sebelum berjalan, dalam
hidup
hidup ditunggu maut
ajal tak tahu kapan
…
Rumpaka ini di-tembang-kan dalam surupan Pelog Jejemplangan,
tidak terikat oleh
pupuh, penulis Anonim. Dilihat dari isinya kemungkinan
digubah oleh seorang sufi. “Teks diperoleh oleh R. Bakang Abubakar dari gurunya
pada tahun 1944 (Ischak, 1988: 31).
Tatalegongan dipandang dari sudut arti sebagai satu
rangkaian informasi mengungkapkan
tentang pengembaraan.
”Katak” pada teks-teks naskah teosofi Tasawuf sebagai teks
hipogram, simbol dari salik
(pencari jalan menuju Allah), yaitu orang yang senantiasa
menghadirkan Allah dalam dirinya atau yang lazim disebut Manunggaling
kaula-Gusti dengan ungkapan bangkong
ngaheungheum liangna ‘katak mengulum lubangnya’ (Lihat
Wawacan Gandasari dan
Wawacan Buana Wisesa). Katak dianalogi sebagai simbol salik,
karena selanjutnya muncul wejangan yang bersifat religius.
Katak pada teks dituturkan berkalung kujang. Kujang, yaitu
sejata para raja Sunda jaman
kuna yang bersifat sakral dan religius. Kata ”Kujang” dalam
teks hipogram sebagai berikut:
wanci nyaring jeung caringcing, geus beurang geura bral
miang, wangkingan pusaka
kujang, tamengna wawanen hate, pangraksana ku
iatna’((Ischak, 1988: 13) artinya: ’masa
terjaga dan bersiaga, sudah siang berangkatlah, pegangan
dengan pusaka kujang, dengan
tameng keberanian hati, dilindungi oleh kehati-hatian’
Kole adalah nama sejenis pisang. Kole dalam teks hipogram
mantra pengobatan, simbol
dari kenyamanan: tiis alahbatan birit leuwi, comrek
alahbatan hate kole ’lebih dingin
daripada lubuk sungai yang dalam, lebih dingin daripada
bagian dalam batang pisang kole’.
Hanggasa semacam buah yang enak dimakan.
Pada bagian akhir diungkapkan nasihat ”janganlah berbicara
sebelum menjalani sesuatu
(tidak
tekebur), dalam kehidupan. Hipogram bagian ini terdapat pada teks Wawacan
Buwana Wisesa tentang menutup lubang mulut, maksudnya tidak berkata yang
sia-sia supaya amal tidak berceceran. Pengertian ’hidup’ memiliki makna ganda,
pertama hidup menjalani kehidupan, kedua dalam Ajaran Teosofi Tasawuf ’hidup’
diartikan menghidupkan hati untuk selalu berdzikir kepada Allah
(Lihat wawacan Jaka Ula Jaka Uli dan Wawacan Pulan Palin).
Ungkapan
terakhir, hidup dinanti oleh ajal, waktunya pun kapan, kita tak tahu.
Penerapan
teks hipogram pada Tatalegongan dengan ekserp ’excerpt’ (pengintisarian)
dan
modifikasi ’modification’ (pengubahan) (Lihat Sardjono, 1986). Fungsi
semiotik
penerapan
hipogram memperdalam makna. Matriks dari teks ini adalah, pengembaraan di
jalan
Allah. Tatalegongan mengungkapkan kehati-hatian dalam menjalani hidup.
Katak yang kehidupannya nyaman di air yang disimbulkan oleh kole, namun
selalu membekali diri dengan cemeti.
Hal
ini memiliki makna bahwa subjek walau dalam ketenangan namun selalu
mencambuk
dirinya supaya tak etrlena oleh kesenangan duniawi hanggasa, yang
mejerumuskan
dirinya.
Nasihat
dari rumpaka ini, janganlah tekebur, berdzikirlah di hati selalu, jangan
terlena
oleh dunia, hidup selalu ditunggu ajal
….
Sumber : naskah dan Doa dalam tembang cianjuran
No comments:
Post a Comment