Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat
hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori
kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau
kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan
Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber
kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya
untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan)
, yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya
mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika
(Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat
dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan
bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa
(Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang
padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan
kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang
bermacam-macam.
5. Maruta
(Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi
semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat,
tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya
selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih
sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang
bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani
menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu
memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati
(melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat
lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki
sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam
menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja
dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun)
terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak
menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong
(dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini
mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang
pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buah pun juga ada dalam ajaran
Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan
tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan,
seperti digambarkan dengan :
- Kena cepet ning aja ndhisiki,
- kena pinter ning aja ngguroni,
- kena takon ning aja ngrusuhi.
Maksudnya,
- boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) ,
- boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan),
- boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan.
Intinya seorang
anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih
mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk
menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma
yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi
menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya.
Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui
dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang
lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar
kebaikan kita, orang pun akan menilai nya baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan
tentang The Right Man on the Right Place
(Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa
istilah itu diucapakan dengan ,
Ajining
diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang
tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai
dengan busananya (situasinya).
Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan
pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi
dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap
yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai
(lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus
dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang
tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
No comments:
Post a Comment