SEKILAS WAYANG PANJI (GEDHOG) DAN FILSAFAT JAWA
Oleh DR.
Suyanto
Abstract
Wayang does not only exist in Java or Indonesia,
but also suround the world. It has been decreed and proclamed by UNESCO on 7 November 2003, that Wayang
Indonesia was as a Masterpiece of the Oral and intangible Heritage of Humanity,
or a Cultural Masterpeace of the World. It is not only Wayang Purwa, but also
Wayang Panji (Gedhog). On the one side, it was a greate achievement for Indonesia,
but on the other side, we have to think about the next, what we have to do for
wayang? We need to understand the values of wayang seriuously. By understanding
people will be aware how important the values of wayang story. Philosiphy is
one of the way to approuche of wayang. I would like to talk about wayang to be
approuched by philosophy aspects.
Key words: Wayang (Wayang Panji) and Philosophy.
Kanan: Panji Asmarabangun, kiri: Dewi Sekartadji
Koleksi ISI Surakarta
Koleksi ISI Surakarta
A. Pendahuluan
Indonesia
di mata dunia dipandang sebagai negara yang paling kaya akan seni dan budaya.
Di dalam era persaingan global ini salah satu kekayaan yang dapat diandalkan
adalah produk budaya terutama kesenian. Salah satu produk seni budaya yang
masih digemari oleh masyarakat dan mendapat pengakuan dunia adalah seni wayang
atau pewayangan. Pengakuan bangsa-bangsa sedunia terhadap ke-adiluhung-an seni
wayang menuntut konsekuensi nyata dari sikap dan perilaku kita sebagai bangsa Indonesia
yang telah dikenal di mata dunia sebagai bangsa pemilik seni wayang. Predikat
yang diberikan oleh The United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), bahwa Seni Wayang merupakan karya agung warisan dunia,
dan telah diproklamirkan sebagai a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage
of Humanity bukanlah semata-mata sanjungan belaka untuk membanggakan diri kita.
Akan tetapi, itu merupakan pacu bagi bangsa Indonesia
untuk introspeksi dan melihat ke depan apa yang harus kita perbuat, agar
nilai-nilai yang terkandung dalam seni wayang itu menjadi lebih berarti bagi
kehidupan manusia. Yang dimaksud wayang dalam konteks ini bukan hanya wayang
kulit purwa saja, melainkan semua jenis wayang yang ada di Indonesia,
salah satu di antaranya termasuk Wayang Gedhog (Wayang Panji). Oleh karena itu,
dalam kerangka ini penulis ingin melihat selintas makna ceritera wayang
tradisional Jawa khususnya Wayang Gedhog (Wayang Panji) melalui sudut pandang
ilmu filsafat.
B. Informasi Adanya Wayang
Orang Jawa pada umumnya memandang wayang sebagai
”cermin kehidupan” atau wewayanganing urip. Ditinjau dari asal mulanya, seni
pertunjukan wayang merupakan hasil karya dari kegiatan religius masyarakat Jawa
pada zamannya, karena ceritera wayang dipandang sangat sesuai untuk
menyampaikan hal-hal ke-Ilahi-an (Zoedmulder, 1990:285).
Wayang dalam bahasa Jawa juga disebut Ringgit.
Sejak zaman dahulu sudah dikenal istilah hawayang atau haringgit. Seperti
terdapat dalam prasasti (840 M) lempengan IVa menyebutkan: ”hanapuka warahan
kecaka tarimban hatapukan haringgit abanyol salahan”, yang artinya bahwa
”mereka para seniman topeng, tari kecaka, wayang, dan lawak ”(Timbul Hariyono,
2005:176). Kemudian dalam prasasti Wukajana pada masa Raja Balitung (Abad ke-9)
menyebutkan.
”Hinyunaken tontonan mawidu sang tangkil hyang
sinalu macarita bhima kumara mangigel kicaka si jaluk macarita ramayana mamirus
mabanyol si mungmuk si galigi mawayang buat hyang macarita ya kumara”
Artinya
”Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil Hyang Si Nalu berceritera Bhima Kumara dan menarikan Kicaka si Jaluk berceritera Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk Hyang (arwah nenek moyang) dengan ceritera (Bhima) Kumara” (Timbul Haryono, 2005:117)
”Diadakan pertunjukan, yaitu menyanyi (nembang) oleh sang Tangkil Hyang Si Nalu berceritera Bhima Kumara dan menarikan Kicaka si Jaluk berceritera Ramayana, menari topeng dan melawak oleh Si Mungmuk. Si Galigi memainkan wayang untuk Hyang (arwah nenek moyang) dengan ceritera (Bhima) Kumara” (Timbul Haryono, 2005:117)
Informasi di atas menunjukkan bahwa pada zaman
itu sudah ada seni pertunjukan, seniman, dan ada permainan wayang yang
dipersembahkan kepada arwah nenek moyang. Jadi pertunjukan wayang pada saat itu
lebih difungsikan sebagai sarana ritual. Kata wayang atau ringgit dalam hal ini
adalah pertunjukan yang menggunakan media wayang yang dibuat dari kulit lembu
atau kerbau yang pipih, dan hanya memiliki dua demensi menghadap ke kanan
dan/atau ke kiri saja.
Cerita pewayangan hidup dan berkembang di Indonesia
melampaui berbagai lintasan zaman, sejak zaman Mataram Hindu hingga Mataram
Islam sampai sekarang. Pada zaman Mataram Hindu banyak pujangga istana
menciptakan karya-karya sastra yang mengambil objek ceritera wayang, baik dalam
bentuk prosa maupun puisi. Adapun garapan ceriteranya ada yang berwujud
saduran-saduran dari karya-karya sastra India
seperti Ramayana dan Mahabharata; ada pula yang merupakan pengembangan dari
keduanya, malahan ada yang tidak mengacu pada dua ceritera tersebut, tetapi
merupakan ciptaan para pujangga yang mengacu pada budaya masyarakat di zaman
itu.
Berita tentang adanya pertunjukan wayang di
Indonesia lebih jelas lagi dapat ditengok dalam karya-karya sastra para
pujangga zaman kuno, seperti Serat Arjunawiwaha yang dikarang oleh Empu Kanwa
pada zaman pemerintahan Raja Erlangga di Kediri sekitar abad XI Masehi.
Informasi itu ditemukan dalam pupuh V Cikarini pada 9, yang berbunyi sebagai
berikut.
”…ananonton ringgit manangis asĕkĕl muda hidhĕpan
huwus wruh towin ya(n) walulang inukir molah angucap atur ning wwa(ng) tŗşneng
wişaya malahā tan wi(hi)ka(nhi)na, rtattwa(y)a.n (m)āyā sahana-hana ning
bhawā siluman…”(Wiryamartana, 1990:81).
Terjemahannya kurang lebih demikian
”…menonton wayang menangis terisak-isak itu sikap orang bodoh, pada hal sudah tahu bahwa itu hanyalah kulit yang diukir, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, itulah sebagai orang yang terbelenggu dalam keduniawian dan tersesat hatinya, yang dilihat itu sebenarnya hanyalah semu belaka bagaikan sulapan…”
”…menonton wayang menangis terisak-isak itu sikap orang bodoh, pada hal sudah tahu bahwa itu hanyalah kulit yang diukir, digerakkan dan diucapkan oleh dalang, itulah sebagai orang yang terbelenggu dalam keduniawian dan tersesat hatinya, yang dilihat itu sebenarnya hanyalah semu belaka bagaikan sulapan…”
Dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang pada
waktu itu sudah menggunakan boneka wayang yang dibuat dari kulit yang dipahat,
digerakkan dan diucapkan oleh dalang, bahkan ceriteranya sudah mampu menyentuh
hati para penontonnya hingga menangis. Lebih dari pada itu pertunjukan wayang
juga sudah dimaknai sebagai simbol-simbol tauladan di dalam kehidupan
masyarakat Jawa pada waktu itu. Dengan munculnya ceritera-ceritera pewayangan
di dalam seni pertunjukan, maka peran dari karya-karya sastra pewayangan itupun
berkembang pula sesuai dengan perkembangan budaya masyarakat.
Ditinjau dari aspek pertunjukannya, wayang Jawa
terdiri dari beberapa macam; di antaranya adalah Wayang Purwa, Wayang Gedhog,
Wayang Madya, dan Wayang Wasana. Wayang purwa pada umumnya menggelarkan lakon
yang bersumber pada siklus ceritera Ramayana dan Mahabharata; Wayang Gedhog
bersumber pada siklus ceritera Panji; Wayang Madya besumber pada siklus
ceritera Madya, yaitu ceritera mengenai tokoh-tokoh keturunan Pandawa setelah
raja Parikesit pada akhir zaman kerajaan Hastina. Wayang Wasana adalah
pertunjukan wayang yang mengambil ceritera dari kisah-kisah kerakyatan dan
sejarah; pertunjukannya berupa wayang suluh, wayang kancil, wayang Pancasila,
wayang perjuangan, dan sebaginya. Adapun yang dimaksud wayang dalam penelitian
ini adalah pertunjukan wayang kulit yang juga lazim disebut Wayang Purwa.
Damardjati Supadjar (2001: 7) membedakan
pengertian Wayang Kulit dan Wayang Purwa. Disebut Wayang Kulit, karena boneka
wayang itu dibuat dari kulit binatang, dilukis, dipahat, dan dibuat beraneka
warna, sehingga menenangkan anak-anak untuk menontonnya. Posisi anak-anak
menonton wayang itu pada umumnya dari depan kelir atau dari luar. Adapun
disebut Wayang Purwa karena memuat intisari ajaran tentang Amurwa Kandha, yang
berpangkal tolak dari Eneng-Ening “sesungguhnya tidak ada apa-apa”. Kecuali
yang berkata tanpa kata demikian itu, purwa, madya. wasana, sejalan dengan
posisi kayon tegak lurus di tengah-tengah kelir. Wayang Purwa ini pada umumnya
yang menonton orang-orang dewasa, dan cara menontonnya dari belakang kelir atau
dari dalam. Jadi orang nonton wayang yang ditonton adalah bayangannya bukan
fisiknya. Dengan kata lain wayang itu yang dilihat bukan kulitnya, tetapi sari
pati dari lukisannya yang berupa bayangan yang indah dipandang dari belakang
kelir, karena diterangi oleh cahaya lampu yang disebut blencong, demikian pula
halnya dengan pertunjukan Wayang Madya dan Wayang Gedhog (Panji).
Sajian pertunjukan wayang Gedhog tidak jauh
berbeda dengan wayang kulit purwa, yaitu melibatkan berbagai unsur seni lainnya
seperti: seni drama, seni sastra, seni karawitan, dan seni rupa. Melalui unsur
seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni
sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang
indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan
yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata
bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan
kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan,
menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis
atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris
yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing
wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah
melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya.
Kiri: Panji Anom, kanan: Panji Sepuh
Koleksi ISI Surakarta
Koleksi ISI Surakarta
Menurut Serat Centini, Wayang Gedhog timbul pada
abad VX, dicipta oleh Sunan Ratu Tunggul pada zaman Demak. Penciptaan wayang
ini ditandai dengan sengkalan Gambar Naga ing Dipatya (1485 Saka). Semula
wayang ini hanya menceritakan lakon Panji, tetapi dalam perkembangannya Sunan
Bonang memasukkan cerita Damarwulan pada tahun 1488 Saka. Sunan Ratu Tunggul di
Giri (Sunan Giri) mencipta Wayang Gedhog tanpa tokoh raksasa juga tanpa tokoh
kera. Adapun tokoh-tokoh utamanya antara lain: Panji Asmarabangun (Inu
Kartapati), Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana), Panji Gunungsari, Prabu Klana
Sewandana, dan Bugis sebagai bala tentaranya. Penciptaan Wayang Gedhog ini
diawali dengan pembuatan tokoh Bathara Guru memegang tombak dililit seekor
naga, dengan sengkalan yang berbunyi: Gegamanaing Naga Kinaryeng Bathara,
menunjukkan angka tahun 1485 Saka/1563 M ( Soetarno, 2007: 134). Cerita Panji
ini juga populer di Thailand
dan Kambodja, tokoh Panji Inu Kartapati disebut dengan nama populernya Hino
atao Inoe.
Kiri: Panji Gunungsari, kanan: Panji Inu
Kartapati (Sepuh)
Koleksi: ISI Surakarta
Koleksi: ISI Surakarta
Wayang Gedhog cukup berkembang ketika
pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) di Surakarta, di keraton pada waktu itu
setiap sebulan sekali dipergelarkan Wayang Gedhog. Pertunjukan ini dilakukan
ketika raja meninggalkan kerajaan (jengkar) dalam beberapa hari, selama raja
pergi di keraton diadakan tuguran, para abdi dalem keraton bergiliran menjaga
keraton. Pada setiap malam tuguran itu diadakan pertunjukan wayang, mulai dari
Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedhog, sampai Wayang Krucil atau Wayang
Klithik. Dengan demikian semua jenis wayang yang ada di keraton pada waktu itu
tampak hidup, karena pada saat-saat yang telah ditentukan selalu dipertnjukkan.
C. Wayang Panji dan Filsafat Jawa
Ketika ada pertanyaan mengenai Orang Jawa,
wayanglah sebagai cermin untuk melihat proyeksi kehidupan orang Jawa secara
lengkap dengan filsafat dan kebudayannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Susilo
(2000: 74) bahwa, wayang secara tradisional adalah intisari kebudayaan
masyarakat Jawa yang merupakan warisan turun-tumurun, dan secara konvensional
telah diakui bahwa ceritera dan karakter tokoh-tokoh wayang itu merupakan
cerminan inti dan tujuan hidup manusia. Penggambarannya sedemikian halus, penuh
dengan simbol-simbol (pralambang dan pasemon) sehingga tidak setiap orang dapat
menangkap pesan atau nilai-nilai yang ada di dalamnya. Kehalusan wayang
merupakan kehalusan yang sarat dengan misteri. Hanya orang-orang yang telah
mencapai tingkatan batin tertentu saja yang mampu menangkap inti sari dari
pertunjukan wayang.
Wayang pada hakikatnya adalah simbol dari
kehidupan manusia yang bersifat kerokhanian. Sebagai kesenian klasik
tradisional, wayang mengandung suatu ajaran yang bersinggungan dengan hakikat
manusia secara mendasar. Di antaranya ialah ajaran moral yang mencakup moral
pribadi, moral sosial, dan moral raligius (Nugroho, 2005: 11). Pertunjukan
wayang menggelarkan secara luas mengenai hakikat kehidupan manusia dan segala
di sekitarnya serta rahasia hidup beserta kehidupan manusia. Melalui
pertunjukan wayang manusia diseyogyakan merenungkan hidup dan kehidupan ini
utamanya mengenai kehidupan pribadi yang berhubungan dengan sangkan paraning
dumadi dan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kehidupan di dunia yang
tidak lama ini.
Dewasa ini apabila terdengar pembicaraan tentang karya-karya budaya tradisional, pada umumnya orang mempunyai persepsi ke belakang. Tradisi selalu diidentikkan dengan yang kuno, irrasional, dan ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak tulisan tentang kajian produk budaya masa lampau bernilai tinggi yang muncul di jaman ini kurang diminati oleh generasi sekarang.
Dewasa ini apabila terdengar pembicaraan tentang karya-karya budaya tradisional, pada umumnya orang mempunyai persepsi ke belakang. Tradisi selalu diidentikkan dengan yang kuno, irrasional, dan ketinggalan zaman. Akibatnya, banyak tulisan tentang kajian produk budaya masa lampau bernilai tinggi yang muncul di jaman ini kurang diminati oleh generasi sekarang.
Di dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba
menengok ke belakang dalam kerangka untuk memandang jauh ke depan, dengan
menekankan pada penggalian nilai-nilai dalam ceritera Wayang Panji yang
dipandang masih relevan bagi kehidupan manusia baik sekarang maupun masa yang
akan datang. Nilai-nilai itu dikaji dengan kaidah-kaidah ilmu filsafat,
diadaptasikan dengan paradigma baru dalam perkembangan dunia ilmu filsafat
sekarang.
Wayang Panji perlu dikaji, karena banyak
menyampaikan pesan-pesan berupa nilai-nilai hakikat hidup, pandangan hidup, dan
budi pekerti. Hal-hal tersebut terselubung dalam simbol-simbol yang sangat
rumit dan lembut. Untuk mengungkap berbagai tabir simbolik dalam lakon wayang
itu diperlukan perenungan secara mendalam dan serius. Sudibjo dan Wirasmi
(1980: 5) dalam pengentar terjemahan Serat Panji Dadap mengatakan
bahwa, Karya sastra lama akan dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan
yang beraneka macam ragamnya. Penggalian karya sastra lama yang tersebar di
daerah-daerah ini akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang
meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah mulia dan tinggi
nilainya. Modal semacam itu, yng tersimpan dalam karya-karya sastra daerah,
akhirnya akan dapat menunjang kekayaan sastra Indonesia
pada umumnya.
Salah satu disiplin yang dapat digunakan untuk
mengkaji masalah-masalah dalam lakon wayang adalah ilmu filsafat.
Melalui penulisan ini diharapkan menambah wawasan
tentang pentingnya pemahaman terhadap niali-nilai dalam cerita Wayang Panji
yang mengandung nilai-nilai filsafati, sehingga nilai-nilai itu mudah dicerna
dan dipahami oleh generasi masa kini dan masa mendatang. Kajian melalui ilmu
filsafat merupakan pencarian hakikat kebenaran mendasar. Oleh sebab itu,
pembahasan filsafat tentang cerita Wayang Panji akan selalu bergayut dengan
tiga cabang filsafat yang saling berkait yaitu “metafisika wayang”, “aksiologi
wayang”, dan “epistemologi wayang”.
Secara aksiologis pertunjukan Wayang Panji
merupakan eksplorasi dari nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan
keberadaan manusia. Nilai-nilai itu disampaikan melalui pembeberan
peristiwa-peristiwa yang berupa simbol-simbol dalam bentuk pertunjukan. Seperti
halnya dapat dilihat pada struktur lakon, struktur adegan, dan penokohan.
Secara epistemolgis, ungkapan simbol-simbol dalam
pertunjukan Wayang Panji itu mengandung pesan-pesan pengetahuan ataupun
ajaran-ajaran kehidupan. Hal ini terungkap dalam ucapan wacana tokoh melalui
dalang, baik berupa narasi maupun dialog tokoh dan wejangan-wejangan. Dengan
demikian untuk mencapai kebenaran mendasar mengenai pemahaman nilai filsafati
dalam pertunjukan Wayang Panji terlebih dahulu memahami aksiologi dan
epistemologi dalam wayang Panji.
Kajian mengenai nilai-nilai dalam pertunjukan
wayang secara umum dapat dipastikan mengandung pesan-pesan ontologis,
kosmologis, dan antropologis. Tiga aspek tersebut adalah cabang filsafat
metafisika. Sedangkan kajian melalui aspek metafisika berarti melakukan metode
hermenuitika, karena pengkaji akan melkukan interpretasi prosedural yang
mengrah pada penafsiran filosofis yang paling dalam. Oleh karena itu dalam
dunia filsafat, metafisika juga dipandang sebagai hermenuitika (Johanis
Ohoitimur. 2006).
Membahas cerita Wayang Panji adalah berbicara
tentang nilai.”Nilai” adalah sesuatu yang dianggap benar dan perlu dihargai.
”Nilai” mempunyai maksud mengartikan secara umum segala yang menjadi objek
penghargaan atau sebagai sesuatu yang pada dirinya layak dihormati atau
dikagumi (Muji Sutrisno, 1993: 84). Nilai filsafati dalam wayang adalah
pesan-pesan filosofis yang dipandang perlu dan layak dihargai serta ditauladani
oleh manusia, yang terdapat di dalam ceritera wayang.
Ditinjau dari struktur pertunjukan secara tradisi
semalam pada umumnya mempunyai konvensi yang berdimensi ontologis, karena
isinya membeberkan nilai-nilai hakikat keberadaan hidup manusia dalam satu
siklus kehidupan yang disebut lekas sangkan paraning dumadi. Secara umum lakon
dalam pergelaran semalam itu dapat diinterpretasikan sebagai lambang kehidupan
manusia dalam tiga tahap yakni pertama lair, kemudian menjalani lakon, akhirnya
mengalami kematian atau lampus.
Selain itu, lakon Wayang Panji juga mengandung
banyak simbol-simbol yang dapat dimaknai secara kosmologis, karena dalam
pertunjukan wayang dalam lakon-lakon tertentu selalu disampaikan ajaran-ajaran
yang mengarah pada pemahaman kehidupan manusia sebagai bagian dari dunia
semesta, sehingga sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia harus dapat
menyesuaikan keberadaannya secara pribadi atau mikro kosmos, terhadap
ketertiban dan susunan kehidupan dunia semesta atau makro kosmos. Dengan
demikian manusia akan mengalami hidup yang selaras, serasi, dan seimbang.
Cerita Panji yang diadopsi dalam berbagai lakon wayang Panji/Gedhog memiliki
satu tipe atau model yaitu tepe lakon penyamaran dan pencarian. Seperti
perjalanan Panji Inu Kartapati menyamar sebagai Andhe-Andhelumut seorang kawula
cilik, hidup di pedesaan menjadi anak seorang janda, dalam rangka mencari Dewi
Sekartaji.
Secara utuh pertunjukan Wayang Panji juga
merupakan cerminan tata nilai kehidupan orang Jawa. Dalam perjalanan suatu
lakon tersirat mengenai nilai-nilai hakikat kehidupan manusia. Bagaimana
hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam lingkungannya,
serta dirinya sendiri.
Wayang Panji menyampaikan ajaran moral
kepemimpinan. Pengembaraan Panji mencari Dewi Sekartaji bukanlah semata-mata
karena asmara, tetapi ini merukan
simbol suatu idealisme seorang pemimpin. Putri Sekartaji dapat diibaratkan
sebagai simbol puncak kebahagiaan sejati, seorang pemimpin dalam menggapai
kebahagiaan sejati hendaknya mengenali segala sesuatu yang ada di sekitarnya,
yaitu mengenali semua sifat alam lingkungannya; sebagaimana lakon Wahyu
Makutharama dalam pertunjukan Wayang Purwa yang lazim disebut Hasthabrata.
Hastha berarti delapan, Brata adalah laku atau tindakan. Hasthabrata dapat
diartikan delapan tindakan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin atau
raja. Inti dari Hasthabrata adalah delapan ajaran moral kepemimpinan. Dalam
Lakon Wahyu Makuthrama, tokoh yang mendapatkan ajaran Hasthabrata adalah
Arjuna, yang disampaikan oleh Begawan Kesawasidhi sebagai wujud lain dari
Krisna. Arjuna dan Krisna adalah reinkarnasi dari Wisnu, dalam dunia pedalangan
biasa diucapkan oleh dalang; Wisnu binelah panitise dadi Kresna lan Arjuna,
kaya suruh lumah lan kurepe, dinulu seje rupane yen digigit tunggal rasane;
meskipun dalam dua wujud tetapi satu jiwa. Demikian halnya Panji Inu Kartapati
dan Panji Gunungsari.
Perjalanan Panji Asmarabangun mencari Sekartaji
tidak semata-mata dapat diartikan secara harafiah. Kata ”perjalanan” dan
”mencari” merupakan simbol ”jiwa rohani dan karakter manusia”. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan oleh Sri Mangkunegara VII bahwa, tiap lakon wayang merupakan
lambang perbuatan mistik atau ”patraping samadi”. Demikian halnya dengan
perjalanan Panji. Jadi pengertian ”perjalanan” adalah laku atau tindakan rohani
menuju tingkat spiritual terdalam. Sedangkan ”mencari” yaitu upaya menemukan
”Sang Sejati”, yang tidak berwujud wadag melainkan bersifat rohani. Orang
bersamadi mencari pencerahan atau kepuasan spiritual ataupun petunjuk Gaib,
badannya tidak bergerak dan tidak beranjak dari tempat di mana ia berada; yang
bergerak hanyalah jiwanya. Diibaratkan Panji yang melampaui berbagai pengalaman
mencari Dewi Sekartaji.
Panji harus berhadapan dengan berbagai rintangan
yang menghalanginya sebelum menemukan Dewi Sekartaji. Ini merupakan simbol dari
kemungkaran hawa nafsu empat macam Mutmainah, Amarah, Supiyah, dan Lauamah.
Oleh karena Panji telah memiliki keteguhan hati dan kesentosaan iman, maka
empat penghalang itu dapat dimusnahkan. Jadi dalam hal ini Panji merupakan
simbol dari jiwa yang teguh dan mampu menakhlukan hawa nafsu yang menggoda,
sehingga cita-citanya tercapai dengan sempurna.
Kiri: Raden Klana Sasra Hadimurti, kanan: Prabu
Klana Sewandana
Koleksi ISI Surakarta
Koleksi ISI Surakarta
D. Panji Asmarabangun sebagai Simbol Kepemimpinan
Jawa
Perjalanan Panji Asmarabangun sebagai kawula cilik hidup menyatu dengan orang-orang desa merupakan simbol pemahaman manusia terhadap alam semesta, yaitu kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos. Dengan memahami sifat-sifat alam semesta berarti manusia menyadari pula akan kekuasaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagaimana yang diajarkan oleh Begawan Kesewasidi kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama; bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik harus menjalankan delapan watak alam yang disebut Hasthabrata. Adapun delapan watak alam dimaksud adalah sebagai berikut.
Perjalanan Panji Asmarabangun sebagai kawula cilik hidup menyatu dengan orang-orang desa merupakan simbol pemahaman manusia terhadap alam semesta, yaitu kemanunggalan mikrokosmos dan makrokosmos. Dengan memahami sifat-sifat alam semesta berarti manusia menyadari pula akan kekuasaan Tuhan Maha Pencipta. Sebagaimana yang diajarkan oleh Begawan Kesewasidi kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama; bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik harus menjalankan delapan watak alam yang disebut Hasthabrata. Adapun delapan watak alam dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Watak Surya; artinya Matahari. Seorang
pemimpin harus berguna laksana matahari. Matahari di pagi hari selalu terbit
dari timur dan sore hari tenggelam di barat, itu sebagai lambang sifat setia
dan selalu menepati janji. Dengan sinar matahari, segala yang ada di muka bumi
dapat hidup dan berkembang sesuai kodratnya masing-masing. Sebagai seorang
pemimpin harus setia pada janjinya, mampu memberi kekuatan dan semangat hidup
bagi rakyatnya.
2. Watak Candra; artinya Bulan. Cahaya bulan menerangi di waktu malam hari, berkesan sejuk indah dan damai. Seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang menarik dan menyenangkan, serta mampu menerangi hati rakyatnya yang sedang mengalami kesusahan; laksana bulan purnama. Nama lain Dewi Sekartaji adalah Galuh Candrakirana, Candra berarti rembulan, kirana artinya cahaya Panuji Asmarabangun selalu mencari di mana Candrakirana berada, ini merupakan lambang bahwa seorang raja harus selalu memiliki cahaya keindahan yang mampu menyejukkan rakyatnya.
3. Watak Kartika; artinya Bintang. Bintang di langit pada malam hari nampak indah bagaikan hiasan permata, dan selalu tetap pada tempatnya. Bintang juga berguna sebagai petunjuk arah bagi para nelayan. Seorang pemimpin harus berfungsi laksana bintang, yaitu bersikap tenang, dapat menjadi tauladan, dan menjadi kiblat atau pedoman bagi rakyatnya.
4. Watak Himanda; artinya Awan. Awan di angkasa kelihatan seram dan menakutkan, tetapi apabila sudah menjadi hujan sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Seorang pemimpin harus berguna laksana awan, yakni berwibawa, dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
5. Watak Kisma; artinya Bumi. Bumi setiap hari diinjak oleh manusia, dinajak, dicangkul dan sebagainya. Akan tetapi bumi tidak pernah menyesal, tidak pernah mengeluh, bahkan barang siapa menjatuhkan benih di bumi pasti akan tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Setiap pemimpin harus bersifat laksana bumi, yakni berbudi sentosa dan jujur, tidak suka hanya menerima pemberian, bahkan selalu memberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa terhadap bangsa dan negara.
6. Watak Dahana; artinya Api. Api memiliki sifat tegak menyulut ke atas. Barang siapa menghalangi api tentu akan terbakar. Api sebagai lambang ketegasan dan keadilan. Setiap pemimpin harus bersikap laksana api, yakni tegas dan berani memberantas semua rintangan secara adil tanpa pandang bulu.
7. Watak Samodra; artinya Air. Samodra luas tanpa batas dan menampung segala muara air. Setiap pemimpin harus bersifat laksana samodra atau air, yaitu lapang dada, adil, sanggup menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak membeda-bedakan cara merangkul rakyatnya (momot, momong, memayu, dan memangkat)
8. Watak Samirana; artinya Angin. Tiada tempatyang tidak terkena angin, di gunung ada angin, di lembah dan dasar samoderapun ada angin. Setiap pemimpin harus bertindak laksana angin, yaitu melakukan tindakan teliti dan mencermati segala lapisan, jika rakyat yang ada di lapisan atas didekati, rakyat di lapisan bawahpun juga harus didekati, sehingga tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial.
2. Watak Candra; artinya Bulan. Cahaya bulan menerangi di waktu malam hari, berkesan sejuk indah dan damai. Seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang menarik dan menyenangkan, serta mampu menerangi hati rakyatnya yang sedang mengalami kesusahan; laksana bulan purnama. Nama lain Dewi Sekartaji adalah Galuh Candrakirana, Candra berarti rembulan, kirana artinya cahaya Panuji Asmarabangun selalu mencari di mana Candrakirana berada, ini merupakan lambang bahwa seorang raja harus selalu memiliki cahaya keindahan yang mampu menyejukkan rakyatnya.
3. Watak Kartika; artinya Bintang. Bintang di langit pada malam hari nampak indah bagaikan hiasan permata, dan selalu tetap pada tempatnya. Bintang juga berguna sebagai petunjuk arah bagi para nelayan. Seorang pemimpin harus berfungsi laksana bintang, yaitu bersikap tenang, dapat menjadi tauladan, dan menjadi kiblat atau pedoman bagi rakyatnya.
4. Watak Himanda; artinya Awan. Awan di angkasa kelihatan seram dan menakutkan, tetapi apabila sudah menjadi hujan sangat bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Seorang pemimpin harus berguna laksana awan, yakni berwibawa, dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
5. Watak Kisma; artinya Bumi. Bumi setiap hari diinjak oleh manusia, dinajak, dicangkul dan sebagainya. Akan tetapi bumi tidak pernah menyesal, tidak pernah mengeluh, bahkan barang siapa menjatuhkan benih di bumi pasti akan tumbuh dan berbuah berlipat ganda. Setiap pemimpin harus bersifat laksana bumi, yakni berbudi sentosa dan jujur, tidak suka hanya menerima pemberian, bahkan selalu memberi anugerah kepada siapa saja yang berjasa terhadap bangsa dan negara.
6. Watak Dahana; artinya Api. Api memiliki sifat tegak menyulut ke atas. Barang siapa menghalangi api tentu akan terbakar. Api sebagai lambang ketegasan dan keadilan. Setiap pemimpin harus bersikap laksana api, yakni tegas dan berani memberantas semua rintangan secara adil tanpa pandang bulu.
7. Watak Samodra; artinya Air. Samodra luas tanpa batas dan menampung segala muara air. Setiap pemimpin harus bersifat laksana samodra atau air, yaitu lapang dada, adil, sanggup menghadapi berbagai permasalahan, dan tidak membeda-bedakan cara merangkul rakyatnya (momot, momong, memayu, dan memangkat)
8. Watak Samirana; artinya Angin. Tiada tempatyang tidak terkena angin, di gunung ada angin, di lembah dan dasar samoderapun ada angin. Setiap pemimpin harus bertindak laksana angin, yaitu melakukan tindakan teliti dan mencermati segala lapisan, jika rakyat yang ada di lapisan atas didekati, rakyat di lapisan bawahpun juga harus didekati, sehingga tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Melihat sekilas paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa, semua isi dari ajaran delapan watak alam semesta itu merupakan ajaran
moral kepemimpinan yang masih memiliki relevansi tinggi bagi kehidupan aktual
di zaman sekarang dan di masa mendatang. Hal-hal yang berhubungan dengan nilai
kebenaran, kejujuran, dan keadilan dapat didekati dengan filsafat moral. Ketika
orang menangkap suatu pesan kemudian timbul pertanyaan tentang apa sebenarnya
di balik pesan itu?, ini adalah pertanyaan filosofis metafisik. Kebenaran,
kejujuran, dan keadilan adalah menjadi keyakinan dan harapan dalam kehidupan
secara universal. Panji Asmarabangun sebagai seorang raja selalu berbaur dengan
rakyatnya, ia melalui cara menyamar dan menyelinap ke deswa-desa. Oleh karena
itu dipandang perlu nilai-nilai dalam Wayang Panji ini untuk digali makna
filsafati yang terkandung di dalamnya dan selalu disosialisasikan kepada
masyarakat luas, guna membangun kualitas moral bangsa Indonesia
tercinta ini.
Pengertian kepemimpinan dalam ajaran tersebut bukan semata-mata suatu tuntunan bagi seorang raja memimpim rakyatnya, akan tetapi juga pemahaman bagi manusia pada umumnya terhadap kodratnya, sehingga mampu memimpin dirinya sendiri.
Pengertian kepemimpinan dalam ajaran tersebut bukan semata-mata suatu tuntunan bagi seorang raja memimpim rakyatnya, akan tetapi juga pemahaman bagi manusia pada umumnya terhadap kodratnya, sehingga mampu memimpin dirinya sendiri.
E. Kesimpulan
Karya budaya Jawa seperti pertunjukan Wayang
Panji sangat tepat apabila dikaji secara filsafati. Pengkajian filsafati dalam
lakon-lakon Wayang Panji tentu melibatkan berbagai cabang filsafat seperti
metafisika, etika dan estetika. Dari aspek metafisika, lakon wayang dapat
dilihat dari aspek ontologi, kosmologi, dan antropologi. Dengan pendekatan
metafisika otomatis pengkaji akan menerapkan metode hermenuitika. Melalui
metode hermenuiktika maka dapat ditemukan makna filsafati yang paling dalam
dari berbagai nilai yang tersirat pada pertunjukan wayang. Dengan demikian
pemahman dan penyebarluasan nilai itu tidak hanya bersifat konservatif semata,
tetapi akan muncul inovasi-inovasi yang tetap mengacu pada roh nilai-nilai
tradisi yang sudah mapan dan diakui oleh masyarakat luas, serta diaktualisasikan
sesuai dengan kondisi zamannya.
Dengan demikian Wayang Panji tidak hanya
dipandang sebagai seni pertunjukan semata, akan tetapi lebih dipahami
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pemahaman nilai-nilai itu akan
memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup dan martabat manusia yang pada
gilirannya akan memberikan andil dalam pembentukan sikap dan watak Bangsa Indonesia.
Selamat Seminar!
DAFTAR PUSTAKA
Asdi, Endang Daruni, Manusia Seutuhnya dalam
Moral Pancasila. Jogjakarta:
Pustaka Raja, 2003.
Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka, 1986.
Damardjati Supadjar.
2001 Mawas Diri Dari Diri yang Tangal, ke Diri yang ”Terdaftar, Diakui, Disamakan”, yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus. Yogyakarta: Philosophy Press,.
2001 Mawas Diri Dari Diri yang Tangal, ke Diri yang ”Terdaftar, Diakui, Disamakan”, yakni Diri yang Terus Terang dan Terang Terus. Yogyakarta: Philosophy Press,.
Darusuprapta, Serat Wulang Reh. Surabaya:
Citra Jaya Murti, 1992.
Drijarkara, N. SJ.,
Filsafat Manusia. Jogjakarta:
Kanisius, 1998
Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa.
Tangerang: Cakrawala, 2003.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, Jogyakarta Pustaka Jaya, 1999.
Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarya:
Pesat, 1954.
Haryono, Timbul, Seni Pertunjukan Indonesia:
Menimbang Pendekatan Emik Nusantara. Surakarta:
Program Pendidikan Pasca sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta 2005.
Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya:
Djojo Bojo, 1990.
Johanis Ohoitimur, Metafisika Sebagai
Hermeneutika. Jakarta: Obor, 2006.
Kant, Immanuel, terjemahan Robby H. Abbror.
Dasar-Dasar Metafisika Moral. Yogjakarta: Insight Reference 2004.
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang
Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang
Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni. Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. Terjemahan
Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi
Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi
Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984.
Langeveld, MJ., Menuju ke Pemikiran Filsafat. Jakarta:
P.T. Pembangunan, tt.
Mulyono, Sri, Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta:
Gunung Agung, 1982.
Mulyono, Sri, Simbolisme dan Mistikisme dalam
Wayang. Jakarta: CV. Masagung,
1989.
Mulyono, Sri, Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Alda,
1975.
Mulyono, Sri, Wayang Asal-Usul Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Alda,
1975.
Palmer, Richard E., Hermeneutics Interpretation
Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Noerthwestern University Press, 1969.
Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogjakarta: Pustaka
pelajar, 2005.
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Noerthwestern University Press, 1969.
Terjemahan Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogjakarta: Pustaka
pelajar, 2005.
Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan
Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Sastro Amidjojo, Seno, Renungan Pertunjukan
Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962.
Siswanto, Joko, Metafisika Sistematik. Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2004.
Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta:
Yusula, 2002.
Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak SJ., Estetika
Filsafat Keindahan. Jogjakarta:
Kanisius, 1993
Kanisius, 1993
Sviri, Sara, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Suyanto, Nilai-Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu
Makutharama dalam
Perspektif Metafisika. Surakarta: ISI Press, 2009.
Perspektif Metafisika. Surakarta: ISI Press, 2009.
Wiryamartana, Kuntara
I., Arjunawiwaha. Yogyakarta:
Duta Wacana
University
Press, 1990.
Press, 1990.
Wignyosoetarno, Lampahan Makutarama Pedalangan
Ringgit Purwa Wacucal. Surakarta:
Yayasan P.D.M.N., 1972.
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme
dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.
BIODATA PENULIS
a. Nama : Dr. Suyanto, S.Kar.,
MA.
b. Tempat dan tanggal lahir : Malang, 13 Agustus 1960
c. Pangkat/jabatan : Pembina Tk. I, IVb/Lektor Kepala,
Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
d. Riwayat pendidikan tinggi:
1966 – 1972: Sekolah Dasar Negeri Undaan, Turen, Malang.
1973 – 1976: Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gondanglegi,
Malang.
1976 – 1979: Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Turen, Malang.
1981 – 1984: Sarjana Muda Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.
1985 – 1986: Seniman/Sarjana (S-1) Akademi Seni Karawitan Indonesia
Surakarta.
1994 – 1996: S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Asia
Tenggara Universitas Sydney Australia.
2005 – 2008: S-3 Program Studi Ilmu Fisafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
b. Tempat dan tanggal lahir : Malang, 13 Agustus 1960
c. Pangkat/jabatan : Pembina Tk. I, IVb/Lektor Kepala,
Pembantu Dekan I Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
d. Riwayat pendidikan tinggi:
1966 – 1972: Sekolah Dasar Negeri Undaan, Turen, Malang.
1973 – 1976: Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gondanglegi,
Malang.
1976 – 1979: Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Turen, Malang.
1981 – 1984: Sarjana Muda Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta.
1985 – 1986: Seniman/Sarjana (S-1) Akademi Seni Karawitan Indonesia
Surakarta.
1994 – 1996: S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Asia
Tenggara Universitas Sydney Australia.
2005 – 2008: S-3 Program Studi Ilmu Fisafat Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
e. Riwayat Pekerjaan:
1986 – 1987: Sebagai guru di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Widyadarma Turen, Kab. Malang, Jawa Timur.
1988 sampai sekarang sebagai dosen Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta
1986 – 1987: Sebagai guru di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Widyadarma Turen, Kab. Malang, Jawa Timur.
1988 sampai sekarang sebagai dosen Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta
f. Karya Ilmiah:
1988: ’’Tinjauan Pengetahuan Pedalangan Karya R. Soetrisno’’. Laporan
penelitian.
1990: ’’Danapati’’. Laporan Penelitian.
1996: ’’Wayang Malangan: Background, Performance and Performer’’. Tesis S-2 Universitas Sydney Australia.
1997: ’’Wayang Malangan: Kesenian Rakyat dan Tradisi Oral’’. Artikel dalam
majalah ATL edisi 1997.
1999: ’’Studi Sabet Wayang Malangan’’. Laporan penelitian mandiri.
2001: Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku
referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika Surakarta.
2000: ’’Tinjauan Lakon Bharatayudha Versi Sudarman Ganda Darsana’’.
Laporan penelitian kelompok.
2001: ’’Pakeliran Jawa Timuran Gaya Porongan’’. Laporan penelitian.
2002: Wayang Malangan. Buku referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika
Surakarta.
2003: ’’Makna Tokoh Kaslupan dalam Ceritera Wayang Jawa’’. Laporan
penelitian.
1988: ’’Tinjauan Pengetahuan Pedalangan Karya R. Soetrisno’’. Laporan
penelitian.
1990: ’’Danapati’’. Laporan Penelitian.
1996: ’’Wayang Malangan: Background, Performance and Performer’’. Tesis S-2 Universitas Sydney Australia.
1997: ’’Wayang Malangan: Kesenian Rakyat dan Tradisi Oral’’. Artikel dalam
majalah ATL edisi 1997.
1999: ’’Studi Sabet Wayang Malangan’’. Laporan penelitian mandiri.
2001: Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Buku
referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika Surakarta.
2000: ’’Tinjauan Lakon Bharatayudha Versi Sudarman Ganda Darsana’’.
Laporan penelitian kelompok.
2001: ’’Pakeliran Jawa Timuran Gaya Porongan’’. Laporan penelitian.
2002: Wayang Malangan. Buku referensi diterbitkan oleh C.V. Citra Etnika
Surakarta.
2003: ’’Makna Tokoh Kaslupan dalam Ceritera Wayang Jawa’’. Laporan
penelitian.
2004: ”Konsep-Konsep Ceritera Wayang Jawa Dengan
Tokoh Kaslupan”.
Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Surakarta.
2005: ”Metafisika Sebagai Hemeneutika Dalam Penelitian Filsafat Lakon
Wayang. Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta.
2006: ”Nonton Wayang Dari Dunia Filsafat”. Jurnal Lakon. Jurusan
Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
2008: Teori Pedalangan. Buku Referensi diterbitkan oleh ISI Surakarta
Press.
2008: “Metafisika Dalam Lakon Wahyu Makutharama Relevansinya Bagi
Kepemimpinan”. Penelitian Disertasi Progam Doktor dalam Ilmu
Filsafat, Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada
Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Surakarta.
2005: ”Metafisika Sebagai Hemeneutika Dalam Penelitian Filsafat Lakon
Wayang. Jurnal Lakon. Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta.
2006: ”Nonton Wayang Dari Dunia Filsafat”. Jurnal Lakon. Jurusan
Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
2008: Teori Pedalangan. Buku Referensi diterbitkan oleh ISI Surakarta
Press.
2008: “Metafisika Dalam Lakon Wahyu Makutharama Relevansinya Bagi
Kepemimpinan”. Penelitian Disertasi Progam Doktor dalam Ilmu
Filsafat, Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada
lainnya,Disini
No comments:
Post a Comment