Saturday, December 10, 2011

MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI


MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI
Sejarah  mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu  faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah  Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala  sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam.  Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud  baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita  lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam  beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang  tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham  wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn  Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17  Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya  pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada  627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme  (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan  keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan  perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat  (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep  Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia  dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib  bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak  tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya.  Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui  penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran  dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang  bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat  tunggal. Allah Ta’ala.

Dr.  Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu  Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran  martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan  sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab  dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang  proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam,  berasal dari tidak ada menjadi ada.”

Selanjutnya,  konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan  digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa.  Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal  dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang  dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul  Rauf (1617-1690).
Lebih  lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan  besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh  Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang  disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan.  Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan  Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan  ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara  asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr.  Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan  menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh  tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan  empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah  (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan  secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam  kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan  aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam  Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala  tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya)  dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi  hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul  Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M),  bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah.  kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal,  Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam  Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.

Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat  pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat  Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga  Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang),  al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan),  al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad  al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat),  Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang  tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud  al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan  berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut  Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada  pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan  dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali  dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan  tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun  dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.
Dalam  alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah  kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub.  Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya  bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.
Tahlil  berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan  Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran  lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.

Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul  Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi,  artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap  selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim.  Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam  Ahadiyah.
Di  dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah,  yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan  obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat  dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan  keesaan-Nya.
Dalam  keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali  diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan  nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal,  yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya,  keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam  atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan  kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis  tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam  tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu,  keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak  membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak  berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi,  bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia  masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan  sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam  diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan  dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang  pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya  adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah  substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat  adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada  dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan  dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala  perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya,  alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal  dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah  dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan  refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal  segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika  memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan  mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan  demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian  La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah  tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah  dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada  keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas  menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah  Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa  yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan  pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya  adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga  pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji  secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya  sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini  semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar  dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah  adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam  ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa  pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat  diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni  dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam  Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang  bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan  Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam  kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa  Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun,  ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi  pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang  menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul  Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya,  tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah.  Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah  dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu  mempersucikan-Nya.
Sedang  pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan  Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam  bahasa Jawa disebut dengan Kanjeng Sejati dan memiki makna pengertian  tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu  berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud  al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun  ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat  mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi.  Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat  negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari  segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak  teruraikan dan diuraikan.
Zat  ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya  Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang  termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi.  Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di  dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal  permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon  kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin  tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian  sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum  terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk  Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari  sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak  ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul  yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang  menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang  ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali.  Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam  kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu  atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup  adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari  hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat  kehidupan.
Keduanya  adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber  munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam  dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul  ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau  mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya  adalah kekal, baqa.

Martabat Ke dua, Martabat Wahdah
Martabat  kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal.  Tingkat perbedaan pertama, atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya  mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan awal,  namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam  alam ketuhanan-Nya, yang disebut al-Martabah Ilahiyyah.
Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;
Dan  martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan.  Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang wujudnya masih  dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud ilmu  dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum  dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat.  Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah  kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal.  Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan  sesuatu.
Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati; 
Nur  Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist;  rupanya seperti burung merak yang berada di dalam permata putih, dan  berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui  sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma  yang menjadi tempatnya alam Wahdah.
Sejatinya,  ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya.  Ruh dalam tingkatan ini bersifat al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau  ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah ibarat  penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan  menurut hadist, pertama kali wujud yang diciptakan Allah adalah ruh.
Di  dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya  adalah sifat kejamakan-Nya. Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal  dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya,  yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu  kesatuan atau manunggal — karena dari ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum  menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan  menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat  menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-Nya, maka, yang menerangkan dan  yang diterangkan menjadi nyata.

Dan  keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari  hakikat yang tidak terinci lewat hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan  pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang  berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut  kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.
Konsep  adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya  yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur  Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam  pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada  mulanya ialah dari adanya hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur  Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah yaitu hadrah yang  tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam  ketiadaan.
Pada  perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad  memiliki dua rupa. Rupa pertama disebut dengan qadim dan yang kedua  adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya segala  zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi  sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya yang qadim itulah sumber  terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari  segala kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur  Muhammad.
Rupa  kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud  sebagai manusia yang terikat oleh masa dan mengalami pemunahan. Ia juga  mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan  manusia lainnya.
Sementara,  di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah  yang kedua. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian  dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang  bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut  bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan menciptakan Nur Muhammad yang  wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan  pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.
Nur  Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya  masih gaib, pengertian gaib di sini adalah, belum dapat dilihat dengan  indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur  Muhammad, masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.
Dengan  kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari  Hayyu — sebab sifat-sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu  (Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu), adalah  sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga  dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan sandaran hidup Nur Muhammad.  Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan  dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan  berkembang, maka, di situ pasti ada sumber air.
Dalam  alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di  sini belum ada batas-batas pemisahan meski sudah adanya  kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.

Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah
Martabat  ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan  dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam  ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah (ketentuan yang  bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua),  al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal), al-Barzakh  al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah  (kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud),  Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan Zakir Ilm (ilmu zakir).
Pada  martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal  dengan Asma ul’Husna di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah  atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung  kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah  dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul  dalam wujud kenyataan.
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;
Tiada  Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam  Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan  Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya.  Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah  pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua.  Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta  jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad.  Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan  keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.
Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Miratul  Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam  tersebut terdapat di depan Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang  disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam  wahadiyah.
Di  dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan  ucapan “tiada Tuhan selain Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah  hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih dalam  kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan  lewat nama-namanya satu persatu.
Dalam  kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua  pengetahuan. Persaksian yang pertama mengandung Syahadah Tauhid, sedang  yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi;  “Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan  selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga disebut dengan kalimat Taqwa.  Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada  dalam tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.
Sementara,  menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah  Mir’atul Haya’i yang tercipta dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam  Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau rahsa  disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.
Pengertian  pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat  tersebut tiada turut rasa sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan  minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan minuman  utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah  dengan melakukan do’a-do’a atau hal-hal yang bersifat religius.
Sejatinya,  fungsi utama pramana di dalam tubuh adalah untuk menegakkan jasmani.  Jadi, apabila pramana berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi  lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan karena  pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad  yang dijadikan sebagai perantaranya Hayyu.

Martabat Ke empat, Alam Arwah
Martabat  yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang  hampa bagi manusia yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna  (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal al-tanazzulat  li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang  menengah), al-Martabat al-Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini  juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah),  al-Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam  yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-Ashya al-Kawiyyah (segala  sesuatu di alam semesta).
Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;
Hakiki  alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang  sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan  penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah  Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.
Yang  mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama  Muhammad adalah ada dalam kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.
Itulah  hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai  kejadian terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud,  khayal dan hak. >>> Jangan sembrono.**
Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Ruh  Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal  dari Nur Muhammad. Itulah hakikat suksma yang dakui keadaan Zat, yang  merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.
Dalam  martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak.  Sejatinya, semua ruh dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam  al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh Allah  tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang  disebut dengan Af’al — Allah menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang  bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur, sifat  kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.
Tentang  alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya.  Kerahasiaan dan keberadaan alam al-Arwah hanya Tuhan yang bisa  menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua  kafir kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam  Uluwwi yang hakikatnya adalah murni. Dengan kata lain, al-Arwah berasal  dari Zat Hakk Ta’ala.
Tegasnya,  pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di  mana wujudnya masih dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada  individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk  kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam  al-Arwah.
Di  dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni,  Namiya, Mutaharrika, Natika dan Ruh Kudus.
1.      Ruh Namiya adalah membentuk  kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya memelihara  dan menumbuhkan, sedang
2.      Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri  manusia dan hewan.
3.      Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh  hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara,
4.      Ruh Natika yang  disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan  manusia
Ruh Natika berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan  nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.
Sedang yang disebut dengan  Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerak  bagi semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka  faham akan semua ma’ani dan batin. Dan kesemuanya ini dari la’thir ruh  Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari  cahaya pilihan, maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui  berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab jiwanya tak  terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.
Alam  al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari  zat ilahi. Dalam alam kabir tersebut, alam besar, Nur Muhammad  menerangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan  bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak  dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan melingkarinya. Nur Muhammad  yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat  dipisahkan. Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya  adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam kesatuan.
Alam  al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu  A’rad (kejadian-kejadian atau penciptaan-penciptaan), yang terhimpun  pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat  Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.
Alam  al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa  berkumpul dalam wujud kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam  alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan mengakui bahwa  Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian  majaji, adalah pralambang dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain,  majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada  yaitu ada-Nya yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah  menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab, makhluk muncul dari  adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.
Oleh  karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama,  adalah penunjukkan pada sang pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan  alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan pengertian  kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya  yang merupakan lambang atau simbol dari kekuasaan-Nya.
Di  dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang  keempat. Setelah bertajjali dalam alam Mir’atul Haya’i, kemudian  bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari  pramana atau sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari  kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar lingkaran pramana.  Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah,  wujud kejamakan ruh. Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu  pun makhluk yang mentetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh karena  itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh  Idlafi karena ia berhadapan dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama  dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan menyinari  segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu  yang nampak dan sinar-sinarnya menerangi semesta alam, dan bidang-bidang  kenisbian.

Martabat Ke lima, Alam Mitsal
Martabat  ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang  diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan  makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l  Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran  segala sesuatu di alam semesta), Surah al-Rahman (bentuk Rahman), Surah  al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al  Ilahi (bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al  Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:
Tersebutlah  alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang  bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan  belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud  mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:
Kandil:  artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang  cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur  Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang  diakui sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menjadi  tempatnya alam Mitsal.
Alam  Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana  tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan  merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal  adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau  keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa  dikenali baik secara batin maupun lahir.
Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima.  Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali  dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di  atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung  tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan aajaran martabat tujuh,  Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan  tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil  juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya,  suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh  karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah  benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang  terletak di luar suksma.

Martabat Ke enam, Alam Ajsam
Martabat  ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut  sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam  al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir peninggalan  bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia),  al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah (nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir  (lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum  (terkungkung), al-Mahsusat (alam rasa).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:
Alam  Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya.  Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama  wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan  setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Dharah  artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna,  kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai  perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam  Ajsam.
Pada  Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di  dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam.  Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk  segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut  teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang  mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha  Mengetahui.
Meski  wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk  lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar  sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.
Sedang  Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam  disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata.  Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang  beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang  menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya  bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai  perhiasan zat.

Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil
Martabat  ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya.  Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan),  Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan  batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang  bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa. Di dalam alam ini,  Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta  dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.
Ajaran Insan Kamil di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:
Sifat  yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat  (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah  penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua  orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu  tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:
Hijab:  disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam  Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak  menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat  atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.
Dalam  Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan  sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari  Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah.  Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta  titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang  diperagakan dalam garis lurus berikut ini;
Allah
!
Ahadiyah
!
Wahdah
!
Wahadiyah
!
Alam Arwah
!
Alam Mitsal
!
Alam Ajsam
!
Alam Insan Kamil

Berdasarkan  uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau  perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan  akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak,  oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung.  Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh  tingkatan.
Demikian  sekelumit sajian Martabat Tujuh yang diangkat dari Suluk Sujinah dan  Serat Wirid Hidayat Jati. Sudah barang tentu, semuanya tak luput dari  kekurangan, maka, akan terasa lebih sempurna bila ada tulisan-tulisan  lain yang akan mampu menambah khasanah perbendaharaan ilmu kita dengan  tujuan mencari ridho Allah semata. Semoga.>>Sumber: Majalah Misteri, edisi 412, 20 Januari 2007

No comments:

Post a Comment