Sunday, December 11, 2011

KADAR DIRI (Kodrat Diri)

KADAR DIRI (Kodrat Diri)

Pengabdian sejati Berdasarkan FungsiNya

Setiap MAHLUK diberikan kelebihan dan kemampuan sesuai dengan fungsinya masing-masing untuk dapat menempuh jalan kembali kepada Allah dengan pengABDIannya…

Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Masing-masing kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’ keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi…

Menemukan ‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu.”.

    “Siapa yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”


***
Q.S. An-Nahl [16] : 69, “Fasluki subula Rabbiki zululan,”

    “…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)

Semua alat-peralatan sudah disediakan oleh Allah swt,utk bisa ‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi jasadiyah dan keduniawian, untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama, hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha memahami.

Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik (bermakna ‘pejalan’).

Maka Kami bukakan tirai yang menutupi engkau, oleh sebab itu pandangan engkau amatlah terangnya. (Q.S. Qaaf (50) : 22)


Yang dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun....

Dasar segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat) tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya yang penghabisan.

Kapanpun dan Dimana pun,  Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak. Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an, ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat. Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil beragama.

Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh,:

shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya…

    “Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q. S. An-Nuur [24] : 41)

Inilah ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita diciptakan.

Sebagaimana sabda Rasulullah:

    Dari Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).
……………

    “…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw. menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).

Tiap-tiap diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan, sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69 tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”

Agama-agama timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.

Segala sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar.
 “Inna kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”…Q. S. 54 : 49--“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)

Ketika kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian, kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya menciptakan kita.

Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin) dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina Ma’rifatullah.”

    “Awal Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r. a.)

Demikianlah pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa, shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’ berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’. ‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa Dia menciptakan kita.

insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduun.”
Q. S. 51 : 56

    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah

Demikian pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,

    “Kepada Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)

Semoga kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.

Yg Selalu belajar memperbaiki kualitas dan meningkatkan potensi diri,menjadi inspirasi ,utk memotivasi dan selalu berinovasi... dan  Harmonisasi sa Alam semesta

Semoga bermanfaat,


No comments:

Post a Comment