FUNGSI
WIRID DAN HIZIB DALAM SASTRA LISAN PESANTREN
(Studi
Kasus Wirid Asma’ul Husna dan Hizb Lathif
di
Brangsong Kendal)
Muhammad
Abdullah
1. Latar Belakang
Dalam khazanah tradisi pesantren
dikenal apa yang disebut sebagai sastra
pesantren. Yakni sastra yang lahir dan berkembang di dalam komunitas
pesantren. Ciri-ciri sastra pesantren tersebut adalah (1) lahir dan berkembang
setelah sekitar abad ke-19, (2) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa, bahasa
Arab, kadang bercampur bahasa Arab dan Jawa ; (3) tulisan yang dipakai adalah
tulisan Arab-Jawa (pegon) dan tulisan Arab; (4) lahir dan berkembang di kawasan
pondok pesantren; dan (5) isinya berkisar masalah tauhid, fiqih, ilmu kalam,
dan doa-doa (Basuki, 1988; Abdullah 1996; Thohir, 1997).
Dalam perkembangannya, sastra
pesantren terbagi ke dalam tradisi tulis dan tradisi lisan. Di antara tradisi
lisan pesantren itu meliputi naskah-naskah tentang (1) puji-pujian, (2) hagiografi orang-orang suci, (3) Al-Barzanji, (4) wirid, (5) hizb, dan (6) wifiq.
Puji-pujian biasanya dibuat berdasarkan sumber tertentu, misalnya Al-Quran, Al-Burdah, atau Syaraful Anam. Hagiografi orang suci
adalah cerita orang-orang suci dalam sejarah Islam atau orang-orang suci dari
kalangan Sufi, misalnya cerita Sufi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, yang
terkenal dengan sebutan Manakib Syeikh
Abdul Qadir Jailani, cerita tentang Syeikh Abu Hasan Asy-Syazali, atau Quaysy
Al-Qarni. Dalam tradisi Jawa dikenal
teks Wawacan Seh. Barzanji adalah teks tertulis yang biasa
dilisankan bersama dalam bulan Rabiaul Awwal, untuk memperingati lahirnya Nabi
Muhammad SAW. Ada beberapa macam teks Al-Barzanji dalam sastra pesantren. Di
antaranya adalah Kitab Ad-Daiba’i,
Syaraful Anam dan Barzanji Nashar.
Salah satu bentuk sastra pesantren yang banyak dikembangkan
dalam tradisi persantren adalah tradisi lisannya yang masih banyak dipraktekkan
oleh para santri. Pada kenyataannya memang karya sastra lisan lebih besar
daripada sastra tulis, terutama pada masyarakat tradisional seperti pesantren
(lihat Hutomo, 1991: 3).
Meskipun dalam banyak kasus, sastra
lisan sudah banyak diteliti di antara karya sastra daerah lainnya (lihat
Rusyana, 1996 :1), namun tampaknya hal itu tidak berlaku bagi sastra lisan
pesantren. Genre sastra lisan pesantren selama ini justru belum banyak
diteliti orang. Di antara karya sastra lisan yang jarang diteliti itu adalah
tradisi lisan berupa pembacaan Wirid dan Hizib.
Wirid adalah
amalan yang berisi bacaan zikir, doa-doa amalan-amalan lain yang biasa dibaca
secara tetap (rutin) setiap hari dalam waktu tertentu. Kegiatan ini dikerjakan
setelah salat dengan bimbingan guru, untuk tujuan pendekatan diri kepada Allah
SWT atau tujuan tertentu. Kata wirid (jamaknya
: awrad) juga berarti “salat-salat
sunah” (sebagai tambahan dari salat wajib) yang dilaksanakan oleh orang-orang
mukmin yang saleh,[1]
atau disebut juga salat nawafil, salat tambahan (Abdullah, 1996: 3).
Dalam tradisi santri amalan wirid terbagi dalam dua macam, yakni (1) bacaan wirid yang
bersifat amm, yakni zikir jahri atau zikir yang dibaca dengan
formula eksoterik atau dalam bentuk amalan lahir menurut beberapa ukuran
tertentu. Misalnya membaca istighfar
beberapa ratus kali; (2) bacaan wirid yang yang bersifat khass yakni zikir sirr, yang dikerjakan secara samar-samar
tanpa suara. Dalam khazanah sastra pesantren banyak wirid yang dihafal sebagai
baccaan hharian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan satu contoh
wirid yaitu wirid Asma’ul Husna.
Adapun Hizb adalah
amalan yang berisi doa-doa ma’tsurat
yang merupakan peninggalan dari nabi SAW dan doa-doa mustajab yang dibaca
menurut waktu tertentu, biasanya untuk menghadapi bahaya besar atau untuk
menghancurkan musuh yang mengancam, yang dibaca dengan kaifiyah (cara) tertentu.[2] Memang tidak semua santri mempunyai amalan hizib,
karena hizib-hizib itu harus berijazah dari seorang kyai atau guru mursyid tertentu.
Ada beberapa macam hizb yang banyak dikenal di lingkungan pesantren, yaitu (1) hizb Nashar karya Imam Abu Hasan
Asy-Syazali (2) hizb Nawawi, (3) hizb Bari, (4) hizb Bahri, (5) hizb Bukhari,
(6) hizb Ghazali, (7) hizb Durul A’la karya Muhyiddin Ibn
‘Arabi, (8) hizb Zajr karya Imam
Tijani, (9) hizb Nashar karya Imam
Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad, dan (10) hizb
Ikhfa’ karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali. Nama-nama hizb ini biasanya diambil dari nama penulis pertama hizb tersebut. Salah satu kumpulan hizb itu adalah Kitab Syawariqul Anwar Min Ad’iyati As-Sadati
Al-Ahyar karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Pembacaan wirid dan hizb itu menjadi tradisi pesantren yang hampir senantiasa mewarnai
aktivitas santri dan kyai dalam kehidupan pesantren. Khusus dalam makalah ini
hanya akan dibicarakan salah satu hizib terkenal, yaitu hizib Lathif.
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah hendak mengungkapkan dan mengadakan deskripsi
singkat perihal wirid Asma’ul Husna dan Hizib Lathif . Hal ini
penting dilakukan mengingat belum banyak peneliti yang membicarakannya.
2. Deskripsi Singkat Wirid Asmaul Husna
Dan Hizb Lathif (lafaznya)
2.1
Wirid Asma’ul Husna
Wirid Asma’ul Husna adalah wirid yang dibaca santri yang telah
mendapatkan ijazah untuk mengamalkannya setiap ba’dal salat maktubah, setelah
salat fardhu. Namun jika keberatan, santri dapat membaccanya setiap pagi,
setelah salat subuh dan sore hari, setelah salat maghrib. Khasiat membaca wirid ini adalah di samping
untuk pendekatan diri kepada Allah, wirid ini juga disukai anak muda karea
dapat menambah percaya diri, dapat menambah “tenaga dalam” untuk yang rutin
mengmalkannya, dan untuk menjaga diri, membeli diri apanila mendapat serangan
musuh jahat.
Masyarakat Islam
santri yang masih mau menghidupkan tradisi wirid dan hizb ini menurut
Clifford Geertz (1983: 168) termasuk kelompok Islam santri pengikut paham Imam
Syafei yang berhaluan ahlussunnah waljamaah dalam prinsip keagamaannya.
Kelompok Islam inilah yang disebut Deliar Noer (1986: 5) sebagai kelompok Islam
tradisional, hal ini karena mmasyyarakat ini masih kental dengan postulat dan
symbol tradisioonal yang melekatnya. Misalnya secara organisasi adalah kelompok
Islam Nahdlatul Ulama yang berbasis di pondok pesantren.
Dalam konteks
pemikiran sosial keagamaan paham Islam tradisional ini berbeda dengan pemeluk
Islam modernis, seperti Muhammadiyah. Paham Islam modernis yang mementingkan
rasionalitas tidak bisa mengamalkan model zikir yang dipraktekkan semacam wirid
dan hizib. Begitu pula dalam kehidupan budaya Islam, pengikut Islam tradisional
msih mengadopsi paham-paham sinkretis dari paham Jawa (kejawen) dalam
ritual keagamaannya. Sedang di kalangan Islam modernis, dengan keras menolak
amalan-amalan keagamaan dan budaya Islam yang berbau sinkretis. Bahkan Islam
modernis menganggap amalan-amalan seperti wirid, hizib, dan manakib
orang suci dianggap bid’ah, karena merupakan ajaran baru. Ooleh karena itu, praktek amalan wirid dan
hizib ini hanya diamalkan ooleh kalangan Islam tradisional dari lingkungan
pesanrtren.
Suatu
penelitian pendahuluan dilakukan penulis di desa Karang Tengah Kecamatan
Brangsong Kabupaten Kendal. Di desa ini ada seorang guru yang sering memberi
ijazah untuk amalan wirid dan hizib, yang bernama Kyai Abdurrohim. Abdurrohom
ini pada waktu mudanya banyak
berguru di Banten dan Cianjur Jawa Barat. Di rumahnya ada padepokan kecil yang
dipakai untuk latihan wirid dan latihan bela diri Asma’ul Husna. Banyak
santri yang telah berhasil mengamalkan Asma’ul Husna. Di antaranya ada
santri yang berhasil menumpas perjudian, memiliki ketahan diri yang baik ketika
mengalami kecelakaan lalulintas, menggaet seorang gadis dan lain-lain. [3]
Bacaan
wirid ini dimulai dengan basmallah, dilanjutkan dengan membaca surat
al-Fatihah yang dipakai sebagai wasilah (perantara) kepada para gurunya,
yaitu :
(1) Membaca
surat Al-Fatihah ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW;
(2) Pembacaan
Al-Fatihah ditujukan kepada empat sahabat Nabi, yaitu sahabat khulafaurrasyidin,
sayyidina Abu bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, dan Sayyidina Ali
r.a.;
(3) Fatihah
ditujukan kepada Sultan Aulia, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sahibul
karomah, fid dunya wal akhirah;
(4) Untuk
Syeikh Ahmad Rifa’I, Syeikh Ahmad badawi, Syeikh Ibrahim Ad-Dasuki;
(5) Terakhir
disampaikan untuk sahibul jurus, Wakil kesatu Pinangeran Pengampun
Cianjur.
Selesai pembacaan wasilah tersebut kemudian dilanjutkan
dengan membaca wirid Asma’ul Husna, dimulai dengan bacaan Ya Hayyu,
Ya ‘Aliyyu, Ya Maliyyu, ya Wafiyyu, YaWaqiyyu, Ya Qawiyyu, Ya Ghaniyyu, Ya
Waliyyu, Ya Baqi. Ilaika rasulallah, asku nawaiban minaddahri la yakfilahal
mutahammilu, wa inni la yarju innaha bika yanjali, wa innaka li jahun wa hisnun
wa ma’qulun, wa asmim wa abqim summa a’mi ‘aduwwana wa akhrishum ya dzaljalali
bikhausamat min ay syai’in khalaqahu min nuthfatin khalaqahu faqaddarahu. (dan
seterusnya).
Selesai bacaan asma’ terakhir
ditutup permohoonan kepada Allah melalui para gurunya, dengan mengatakan :
“Ya Allah Ya Rasulallah, Ya sayyidi Syeikh Muhyidin Abdul
Qadir Al-Jailani, ya Wakil kesatu Pinangeran Panagampun Cianjur, kula nyuwun,
kula nyuwun datang panjenengan, Panjenengan suwunaken dating Gusti Allah mugiya
badan kula dipun isi karomahipun jurus ingkang werni sedasa, ingkang sampun
kawula wiridaken. Kaf – Ha – Ya - ‘Ain – Shad, zikru rohmatika ‘abdahu
zakariyya, Assalamu’alaikum Ya Rasulallah, Allah”.
Djakarta, Br. 285). Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada. Bandingkan
dengan Abdullah,
Muhammad.
1986. Tinjauan Fungsional Terhadap Hikayat Syekh Abdul Qadir Al Jailani (Suatu Pendekatan
Reseptif). Skripsi Sarjana
Fakultas Sastra UNDIP.
No comments:
Post a Comment