Wednesday, May 8, 2013

FUNGSI WIRID DAN HIZIB DALAM SASTRA LISAN PESANTREN bag1


FUNGSI WIRID DAN HIZIB DALAM SASTRA LISAN PESANTREN
(Studi Kasus Wirid Asma’ul Husna dan Hizb Lathif
di Brangsong Kendal)

Muhammad Abdullah



      1. Latar Belakang
        Dalam khazanah tradisi pesantren dikenal apa yang disebut sebagai sastra pesantren. Yakni sastra yang lahir dan berkembang di dalam komunitas pesantren. Ciri-ciri sastra pesantren tersebut adalah (1) lahir dan berkembang setelah sekitar abad ke-19, (2) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa, bahasa Arab, kadang bercampur bahasa Arab dan Jawa ; (3) tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab-Jawa (pegon) dan tulisan Arab; (4) lahir dan berkembang di kawasan pondok pesantren; dan (5) isinya berkisar masalah tauhid, fiqih, ilmu kalam, dan doa-doa (Basuki, 1988; Abdullah 1996; Thohir, 1997). 
           Dalam perkembangannya, sastra pesantren terbagi ke dalam tradisi tulis dan tradisi lisan. Di antara tradisi lisan pesantren itu meliputi naskah-naskah tentang (1) puji-pujian, (2) hagiografi orang-orang suci, (3) Al-Barzanji, (4) wirid, (5) hizb, dan (6) wifiq. Puji-pujian biasanya dibuat berdasarkan sumber tertentu, misalnya Al-Quran, Al-Burdah, atau Syaraful Anam. Hagiografi orang suci adalah cerita orang-orang suci dalam sejarah Islam atau orang-orang suci dari kalangan Sufi, misalnya cerita Sufi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, yang terkenal dengan sebutan Manakib Syeikh Abdul Qadir Jailani, cerita tentang Syeikh Abu Hasan Asy-Syazali, atau Quaysy Al-Qarni. Dalam tradisi Jawa dikenal teks Wawacan Seh. Barzanji adalah teks tertulis yang biasa dilisankan bersama dalam bulan Rabiaul Awwal, untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa macam teks Al-Barzanji dalam sastra pesantren. Di antaranya adalah Kitab Ad-Daiba’i, Syaraful Anam dan Barzanji Nashar.
Salah satu bentuk sastra pesantren yang banyak dikembangkan dalam tradisi persantren adalah tradisi lisannya yang masih banyak dipraktekkan oleh para santri. Pada kenyataannya memang karya sastra lisan lebih besar daripada sastra tulis, terutama pada masyarakat tradisional seperti pesantren (lihat Hutomo, 1991: 3).
           Meskipun dalam banyak kasus, sastra lisan sudah banyak diteliti di antara karya sastra daerah lainnya (lihat Rusyana, 1996 :1), namun tampaknya hal itu tidak berlaku bagi sastra lisan pesantren. Genre sastra lisan pesantren selama ini justru belum banyak diteliti orang. Di antara karya sastra lisan yang jarang diteliti itu adalah tradisi lisan berupa pembacaan Wirid dan Hizib.

 Wirid adalah amalan yang berisi bacaan zikir, doa-doa amalan-amalan lain yang biasa dibaca secara tetap (rutin) setiap hari dalam waktu tertentu. Kegiatan ini dikerjakan setelah salat dengan bimbingan guru, untuk tujuan pendekatan diri kepada Allah SWT atau tujuan tertentu. Kata wirid (jamaknya : awrad) juga berarti “salat-salat sunah” (sebagai tambahan dari salat wajib) yang dilaksanakan oleh orang-orang mukmin yang saleh,[1] atau disebut juga salat nawafil, salat tambahan (Abdullah, 1996: 3).
Dalam tradisi santri amalan wirid terbagi dalam dua macam, yakni (1) bacaan wirid yang bersifat amm, yakni zikir jahri atau zikir yang dibaca dengan formula eksoterik atau dalam bentuk amalan lahir menurut beberapa ukuran tertentu. Misalnya membaca istighfar beberapa ratus kali; (2) bacaan wirid yang yang bersifat khass  yakni zikir sirr, yang dikerjakan secara samar-samar tanpa suara. Dalam khazanah sastra pesantren banyak wirid yang dihafal sebagai baccaan hharian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan satu contoh wirid yaitu wirid Asma’ul Husna.
Adapun Hizb adalah amalan yang berisi doa-doa ma’tsurat yang merupakan peninggalan dari nabi SAW dan doa-doa mustajab yang dibaca menurut waktu tertentu, biasanya untuk menghadapi bahaya besar atau untuk menghancurkan musuh yang mengancam, yang dibaca dengan kaifiyah (cara) tertentu.[2]   Memang tidak semua santri mempunyai amalan hizib, karena hizib-hizib itu harus berijazah dari  seorang kyai atau guru mursyid tertentu.
           Ada beberapa macam hizb yang banyak dikenal di lingkungan pesantren, yaitu (1) hizb Nashar karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali (2) hizb Nawawi, (3) hizb Bari, (4) hizb Bahri, (5) hizb Bukhari, (6) hizb Ghazali, (7) hizb Durul A’la karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, (8) hizb Zajr karya Imam Tijani, (9) hizb Nashar karya Imam Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad, dan (10) hizb Ikhfa’ karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali. Nama-nama hizb ini biasanya diambil dari nama penulis pertama hizb tersebut. Salah satu kumpulan hizb itu adalah Kitab Syawariqul Anwar Min Ad’iyati As-Sadati Al-Ahyar karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Pembacaan wirid dan hizb itu menjadi tradisi pesantren yang hampir senantiasa mewarnai aktivitas santri dan kyai dalam kehidupan pesantren. Khusus dalam makalah ini hanya akan dibicarakan salah satu hizib terkenal, yaitu  hizib Lathif.
      Tujuan dari penulisan makalah ini adalah hendak mengungkapkan dan mengadakan deskripsi singkat perihal wirid Asma’ul Husna dan Hizib Lathif . Hal ini penting dilakukan mengingat belum banyak peneliti yang membicarakannya.
      
2.  Deskripsi Singkat Wirid Asmaul Husna Dan Hizb Lathif (lafaznya)
2.1 Wirid Asma’ul Husna
                 Wirid Asma’ul Husna adalah wirid yang dibaca santri yang telah mendapatkan ijazah untuk mengamalkannya setiap ba’dal salat maktubah, setelah salat fardhu. Namun jika keberatan, santri dapat membaccanya setiap pagi, setelah salat subuh dan sore hari, setelah salat maghrib.   Khasiat membaca wirid ini adalah di samping untuk pendekatan diri kepada Allah, wirid ini juga disukai anak muda karea dapat menambah percaya diri, dapat menambah “tenaga dalam” untuk yang rutin mengmalkannya, dan untuk menjaga diri, membeli diri apanila mendapat serangan musuh jahat.
  Masyarakat Islam santri yang masih mau menghidupkan tradisi wirid dan hizb ini menurut Clifford Geertz (1983: 168) termasuk kelompok Islam santri pengikut paham Imam Syafei yang berhaluan ahlussunnah waljamaah dalam prinsip keagamaannya. Kelompok Islam inilah yang disebut Deliar Noer (1986: 5) sebagai kelompok Islam tradisional, hal ini karena mmasyyarakat ini masih kental dengan postulat dan symbol tradisioonal yang melekatnya. Misalnya secara organisasi adalah kelompok Islam Nahdlatul Ulama yang berbasis di pondok pesantren.       
     Dalam konteks pemikiran sosial keagamaan paham Islam tradisional ini berbeda dengan pemeluk Islam modernis, seperti Muhammadiyah. Paham Islam modernis yang mementingkan rasionalitas tidak bisa mengamalkan model zikir yang dipraktekkan semacam wirid dan hizib. Begitu pula dalam kehidupan budaya Islam, pengikut Islam tradisional msih mengadopsi paham-paham sinkretis dari paham Jawa (kejawen) dalam ritual keagamaannya. Sedang di kalangan Islam modernis, dengan keras menolak amalan-amalan keagamaan dan budaya Islam yang berbau sinkretis. Bahkan Islam modernis menganggap amalan-amalan seperti wirid, hizib, dan manakib orang suci dianggap bid’ah, karena merupakan ajaran baru.  Ooleh karena itu, praktek amalan wirid dan hizib ini hanya diamalkan ooleh kalangan Islam tradisional dari lingkungan pesanrtren.
                      Suatu penelitian pendahuluan dilakukan penulis di desa Karang Tengah Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal. Di desa ini ada seorang guru yang sering memberi ijazah untuk amalan wirid dan hizib, yang bernama Kyai Abdurrohim. Abdurrohom ini  pada waktu mudanya banyak berguru di Banten dan Cianjur Jawa Barat. Di rumahnya ada padepokan kecil yang dipakai untuk latihan wirid dan latihan bela diri Asma’ul Husna. Banyak santri yang telah berhasil mengamalkan Asma’ul Husna. Di antaranya ada santri yang berhasil menumpas perjudian, memiliki ketahan diri yang baik ketika mengalami kecelakaan lalulintas, menggaet seorang gadis dan lain-lain. [3]
         Bacaan wirid ini dimulai dengan basmallah, dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah yang dipakai sebagai wasilah (perantara) kepada para gurunya, yaitu :
(1)   Membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW;
(2)   Pembacaan Al-Fatihah ditujukan kepada empat sahabat Nabi, yaitu sahabat khulafaurrasyidin, sayyidina Abu bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, dan Sayyidina Ali r.a.;
(3)   Fatihah ditujukan kepada Sultan Aulia, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sahibul karomah, fid dunya wal akhirah;
(4)   Untuk Syeikh Ahmad Rifa’I, Syeikh Ahmad badawi, Syeikh Ibrahim Ad-Dasuki;
(5)   Terakhir disampaikan untuk sahibul jurus, Wakil kesatu Pinangeran Pengampun Cianjur.
Selesai pembacaan wasilah tersebut kemudian dilanjutkan dengan membaca wirid Asma’ul Husna, dimulai dengan bacaan Ya Hayyu, Ya ‘Aliyyu, Ya Maliyyu, ya Wafiyyu, YaWaqiyyu, Ya Qawiyyu, Ya Ghaniyyu, Ya Waliyyu, Ya Baqi. Ilaika rasulallah, asku nawaiban minaddahri la yakfilahal mutahammilu, wa inni la yarju innaha bika yanjali, wa innaka li jahun wa hisnun wa ma’qulun, wa asmim wa abqim summa a’mi ‘aduwwana wa akhrishum ya dzaljalali bikhausamat min ay syai’in khalaqahu min nuthfatin khalaqahu faqaddarahu. (dan seterusnya).
      Selesai bacaan asma’ terakhir ditutup permohoonan kepada Allah melalui para gurunya, dengan mengatakan :
Ya Allah Ya Rasulallah, Ya sayyidi Syeikh Muhyidin Abdul Qadir Al-Jailani, ya Wakil kesatu Pinangeran Panagampun Cianjur, kula nyuwun, kula nyuwun datang panjenengan, Panjenengan suwunaken dating Gusti Allah mugiya badan kula dipun isi karomahipun jurus ingkang werni sedasa, ingkang sampun kawula wiridaken. Kaf – Ha – Ya - ‘Ain – Shad, zikru rohmatika ‘abdahu zakariyya, Assalamu’alaikum Ya Rasulallah, Allah”.


             [1]  Lihat, Ensiklopedi Islam (Jilid V), 1993. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, hal. 197.
             [2]  Lihat,  Busrodin, 1965. Analisa Filologis Naskah Hikayat She Abdulkadir (Perpustakaan Museum   
            Djakarta, Br. 285). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.  Bandingkan dengan Abdullah,
            Muhammad.
            1986. Tinjauan Fungsional Terhadap Hikayat Syekh Abdul Qadir Al Jailani (Suatu Pendekatan
             Reseptif). Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UNDIP.
          [3] Kisah ini diceritakan Kyai Abdurrahim kepada penulis ketika menerangkan contoh keberhasilan
            amalan  wirid Asma’ul Husna yang dilakukan oleh mantan santrinya dari daerah Pekalongan Jawa
            Tengah.
           Diceritakan Januari 2001 di rumahnya Desa Karang Tengah Brangsong Kendal.

No comments:

Post a Comment